Suatu siang saya makan di depan Bapak. Saya menyelesaikan makan dan menyisakan beberapa butir opo penulisannya upa, nasi satuan di Jawa di sebut upo. Jika nasi satu piring disebut sega atau sego. Bapak dengan wajah serius menghardik saya, “Ambil dan makan!”. Saya yang sudah beranak istri menurut saja seperti anak-anak umur 10 tahunan. Bagi Bapak makan harus bersih tidak boleh ada sisa.
Peristiwa ini saya ceritakan kepada Gus Aniq. Gus Aniq menambahi cerita tentang seorang Kiai entah siapa namanya saya lupa. Kiai itu diundang acara selamatan, sepulang acara di dalam mobil ia mendengar suara tangisan. Rupanya tangisan itu dari upo yang tercecer dan menempel di sarung Kiai. Upo itu menangis karena tidak ikut tertelan oleh Kiai sebagaimana upo-upo yang lain. Ternyata upo punya nyawa, ia juga punya perasaan dan sedih kalau menjadi sia-sia. Setelah upo ditelan oleh Kiai suara tangisan itu hilang.
Sejak diingatkan oleh Bapak saya selalu bekerja keras untuk menghabiskan makanan. Piring harus bersih sebersih-bersihnya. Jika kiranya perut masih kenyang dan terpaksa makan karena berposisi sebagai tamu, ya saya ambil makan sedikit saja. Hal itu saya lakukan untuk menghindari makan tidak habis. Bapak hanya menyuruh saya dengan tindakan, beliau tidak pernah memberi alasan. Terjemahan saya atas perintah itu adalah “Menyianyiakan makanan itu dosa, sama saja menyianyiakan rizki dari Allah.”
Terjadi masalah pada suatu hari, saya menyantap nasi kotak. Di tengah jalan perut saya menolak. Nabi menyuruh saya untuk berhenti makan sebelum kenyang, sementara ada perasaan tidak enak terhadap makanan yang nantinya akan saya sia-siakan. Akhirnya saya matur kepada Kanjeng Nabi, “Kanjeng Nabi, terpaksa aku melanggar tuntunanmu dengan memakan sesuatu meskipun sudah kenyang perutku. Aku tidak enak hati dengan makanan di hadapanku ini.”
Ada situasi-situasi yang membuat kita tidak merdeka. Makanan dengan porsi sebagaimana nasi kotak tadi membuat saya tidak bisa menakar makanan yang akan masuk dalam perut saya.
Peristiwa lain, suatu ketika saya dengan empat teman sarapan di warung soto. Sewajarnya warung soto biasanya seporsi satu mangkuk kecil. Kami pesan sejumlah lima porsi. Kami dibuat kaget karena yang keluar mangkok-mangkok jumbo yang satu porsinya cukup dimakan oleh lima orang. Tahu begitu kami cukup pesan satu porsi saja. Dalam keadaan-keadaan seperti itu kita perlu menatap ke atas, “Gusti ini bagaimana? Saya habiskan maka saya melanggar, tidak saya habiskan saya juga melanggar. Saya habiskan ya?” (Muhajir Arrosyid).