Pukul Sembilan tepat (18/01) kami berada di halaman rumah seorang sastrawan besar Indonesia, Ahmad Tohari. Kulit kami disapa oleh angin. Pohon-pohon tinggi dan rimbun. “Selamat datang di rumah seniman,” begitu sambut beliau. Kami diterima di serambi rumah. Di meja selain terdapat gelas berisi teh hangat juga pisang rebus. Saya, Pak Naka, dan Pak Rifai diutus […]