Pukul Sembilan tepat (18/01) kami berada di halaman rumah seorang sastrawan besar Indonesia, Ahmad Tohari. Kulit kami disapa oleh angin. Pohon-pohon tinggi dan rimbun. “Selamat datang di rumah seniman,” begitu sambut beliau.
Kami diterima di serambi rumah. Di meja selain terdapat gelas berisi teh hangat juga pisang rebus. Saya, Pak Naka, dan Pak Rifai diutus untuk menyerahkan undangan kepada beliau. 22 Februari nanti beliau diagendakan akan berorasi di Universitas PGRI Semarang dalam rangka peringatan Bahasa Ibu Internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni (FPBS).
Tentang Bahasa Ibu, beliau menyampaikan bahwa komunikasi antara anak dan ibunya dan juga orang tuanya itu tidak melalui suara tetapi melalui getaran, melalui genyut darah, keringat, dan perasaan. “Saat anak dalam kandungan alat pendengarannya belum berfungsi. Ibu menyampaikan kasih sayang dengan perasaannya. Maka saat hamil seorang ibu dan juga bapak tidak boleh marah, tidak boleh membentak-bentak. Di Jawa, seorang yang istrinya sedang hamil tidak diperkenankan untuk membunuh binatang dan pantangan-pantangan yang lain.
Bahasa ibu adalah bahasa rasa maka sangat detail sekali. Maka tidak heran untuk menyebut ‘membawa’ saja menggunakan banyak sekali bahasa seperti nyangking, mbopong, nyunggi, manggul, dan lain-lain. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa teknis, karena bahasa teknis maka harus praktis, ringkas. Tapi menurut penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk ini kepraktisan Bahasa Indonesia terancam oleh bahasa Inggris karena bahasa inggris lebih ringkas.
Pak Tohari mengajak untuk menggunakan bahasa sesuai dengan tempatnya. Dia bercerita tentang sesama penulis Indonesia yang fasih berbahasa Inggris berbicara di forum internasional di Bandung. Penulis itu namanya Seno Gumira Ajidarma. Seno bilang kepada hadirin, “Karena saya sekarang sedang di Indonesia maka saya menggunakan Bahasa Indonesia.”
Penulis buku Bekisar Merah dan Mata Yang Enak Dipandang ini gelisah karena banyak anak-anak yang tidak lagi bisa berbahsa Jawa. Sekolah, dan institusi pemerintah latah, genit, dan tidak percaya diri. Banyak istilah-istilah asing bertaburan di sekeling kita. Di gunung-gunung banyak tulisan jalur evakuasi, apa ada orang gunung tahu istilah evakuasi. “Utamakan menggunakan Bahasa Indonesia dulu, baru kalau tidak ada menggunakan bahasa asing.” Sambung beliau.
Beliau juga mengkritik Bahasa Indonesia yang tidak konsisten dan mudah berubah. Misalnya untuk kata siswa, berubah jadi murid, anak didik, peserta didik. Sedangkan bahasa Inggis pkonsisten.
Ahmad Tohari fasih berbahasa Inggris, dalam obrolan bersama kami, ia memperlihatkan kelancaran berbahasa Inggris tetapi dia kaget juga saat cucunya pamit, “Mbah pamit try out dulu ya?” Cerita lain adalah saat ia mengantar cucunya sekolah, di gerbang sekolah terdapat tulisan bahasa Inggris, “full day school”. Ahmad Tohari masuk ke ruang kepala sekolah, ia ajak kepala sekolah itu berbicara bahasa Inggris. Ternyata kepala sekolah tidak pengguna Bahasa Inggris.
Ahmad Tohari adalah seseorang yang sangat mencintai bahasa, ia mampu berbahasa Inggris, tetapi ia memiliki kedaulatan, kepercayaan diri buktinya menulis novel dan cerpen menggunakan Bahasa Indonesia, ia juga mencintai bahasa daerah. Ia baru saja menyelesaikan kamus Banyumas dan terjemahan Alquran dalam bahasa Banyumas.
Saat ditanya “Sekarang banyak lagu menggunakan bahasa campuran antara Indonesia dan Jawa, bagaimana?” Menurut beliau tidak masalah, itu untuk sarana masuk mempelajari bahasa daerah. (Muhajir Arrosyid).