Ahmad Tohari mengeluarkan buku-buku karyanya yang telah diterjemahkan ke berbagai negara. Ia juga menunjukkan kepada kami terjemahan Alquran dalam bahasa Banyumas yang ketebalannya kira-kira sepuluh senti. Di sela obrolan tentang proses kreatif dan bahasa ibu yang ia bela, kami juga berdiskusi tentang novelnya yang paling fenomenal, Ronggeng Dukuh Paruk.
“Saya beruntung memiliki seorang kakek yang senang menonton wayang. Beliau buta huruf. Beliau yang mememenuhi kepala saya dengan cerita dan imajinasi. Kemudian saya ketemu komik pada masa SMP dan menghatamkan banyak novel saat SMA karena jasa seorang guru. Guru itu mempersilakan saya untuk membaca buku koleksi pribadinya kapanpun.
Lulus SMA saya melanjutkan ke kedokteran di Jakarta. Kuliah di kedokteran sudah hampir selesai, tetapi keadaan yang memaksa saya harus mengalah. Adik saya banyak, orangtua saya perekonomiannya jatuh, saya keluar dari kuliah dan menjadi wartawan di Jakarta. Saat menjadi wartawan itulah saya bertemu mesin ketik dan membuat novel.”
Obrolan di serambi rumahnya di Banyumas (18/01) diselingi kunyahan pisang rebus dan tawa berderai-derai. Ahmad Tohari yang jika di panggung terlihat pendiam tetapi kali ini mudah sekali tertawa lepas menceritakan perjalanan hidupnya.
“Saya gugup dan minder saat mengirim cerita itu di Kompas, eh ternyata dimuat bersambung di koran tersebut kemudian diterbitkan oleh Gramedia dan sekarang sudah berkali-kali cetak ulang. Ronggeng Dukuh Paruk terbit di Kompas tahun 1983, menceritakan peristiwa 1965.”
Saya mengajukan pertanyaan, menulis tentang peritiwa 1965 pada masa itu, kok berani-beraninya. Adakah penulis lain pada waktu itu yang mengangkat tema yang sama?
“Selain saya, Y.B. Mangunwijaya menulis cerpen dengan tema yang sama. Begini waktu peristiwa 1965 itu terjadi saya sudah SMA. Saya merekam kejadian itu. Ada rumah dibakar di situ, (Ahmad Tohari menunjuk rumah di depan rumahnya). Di lapangan sebelah sana saya melihat dua kali eksekusi dilakukan, siang hari. Orang-orang menonton dan tepuk tangan. Peristiwa sebesar itu tidak ada yang menceritakannya. Semuanya diam, termasuk para penulis pada waktu itu. Ada sih berita-berita koran tetapi suara pemerintah.”
Kemudian saya bertanya tentang resiko, kemudian Ahmad Tohari menjawab.
“Resikonya ya bahaya, saya dituding terlibat. Tahun 1986 saya dipanggil dan dintrograsi. Ditanya yang menggiring saya agar mengaku terlibat. Saya jawab, tidak, bukan. Saya sangat stress pada waktu itu. Mereka bertanya, maksud saudara apa menulis seperti ini? pada hari keenam seorang petugas mengajukan pertanyaan, coba tunjukkan kepada kami seseorang yang bisa menjamin bahwa kamu tidak terlibat? Saya menulis nama dan nomor telepon seseorang, dan seseorang itu adalah Abduurrahman Wahid. Mereka saling pandang dan masalah selesai sampai di situ. Jadi Gus Dur menyelamatkan saya tanpa dia mengetahuinya, sampai sekarang.”
Apakah hanya itu resiko yang dialami? Lagi-lagi saya bertanya.
“Sampai sekarang saya masih ditanya tentang kenapa saya menulis novel seperti itu, oleh mahasiswa di forum-forum seminar. Oleh beberapa Kiai saya juga ditanya, dan saya menjawab bahwa semua yang ada di dunia ini bukankah ciptaan dan milik Allah?”
Saya bertanya tentang film Sang Penari. Novel Ronggeng Dukuh Paruk menurut saya dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa banyak orang-orang yang tidak tahu semacam Srintil yang menjadi korban. Tetapi sisi ini kurang digarap di dalam film. Kemudian Ahmad Tohari menjawab.
“Banyak kompromi dalam film itu karena ada tekanan dari pihak-pihak tertentu, termasuk dari sebuah organisasi Islam yang belum lahir saat peristiwa itu ada.” Jawab Ahmad Tohari. (Muhajir Arrosyid).