Sore itu (11/3) saya berangkat memenuhi undangan teman-teman Komunitas Sinema Demak. Saya berhenti karena rambu-rambu lalu lintas memeberi tanda merah. Saya saksikan empat baliho di ruang kota yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten. Baliho dengan desain yang buruk, saya bertanya-tanya apakah di Demak tidak ada yang mempu mendesain poster atau baliho lebih baik? Di mana anak-anak muda Demak yang kreatif itu?
Di poster dan baliho terdapat citra, desain poster menceritakan karakter sebuah kabupaten. Jika poster kaku, alakadarnya, dan minus estetika maka begitulah yang terbaca oleh orang luar terhadap pemerintahan kabupaten khususnya dan masyarakat Demak pada umumnya.
Aku sampai di Kafe Mr. Veng, letaknya hanya selemparan sandal dari kantor kabupaten Demak. Kafe yang indah dan manis tempat anak-anak muda demak berkumpul dan berdiskusi. Tapi bukan di situ tempat diskusinya, tempat diskusinya di bagian belakang, bersandangan dengan dapur. Anak-anak muda yang gigih dan membanggakan. Dengan kesederhanaan dan keterbatasan mereka tetap melakukan sesuatu untuk kota yang mereka cintai. Aku jadi ingat dengan film Dead Poets Society sekelompok pemuda radikal yang ingin meraih kesempatan sekarang juga. Mereka mencari cara belajar dengan caranya sendiri.
Melihat komunitas ini saya ingat sebuah buku berjudul Klub Film karya David Gilmour. Buku ini menceritakan seorang bapak yang anaknya tidak mau sekolah. Akhirnya sang bapak menginzinkannya dengan syarat ia hanrus menonton film dengan jumlah tertentu. Setiap bulan ia membuat daftar film apa saja yang akan dia tonton. Mereka menonton berdua setiap hari. Sehabis menonton mereka diskusi. Demikianlah sang ayah mengajar anaknya, melalui film. Film adalah pintu masuk unutk belajar hidup yang lebih luas.
Saya ajak mereka salaman satu-satu, kepada mereka saya sampaikan tentang desain-desain poster dan baliho yang buruk itu. Saya katakan kepada mereka, jika desain-desain baliho yang buruk itu menyebar dan mengisi ruang-ruang kota, maka yang salah bukan hanya pemerintah kabupaten tetapi juga anak-anak mudanya kurang gigih menginterfensi sehingga poster-poster bisa berubah.
Pertanyaan saya, apakah di Demak tidak ada yang bisa mendesain bagus? Jawaban saya ada, poster yang dibuat oleh komunitas ini terhadap acara diskusi film bertajuk “Perempuan dalam RKUHP” jauh lebih bagus.
Diskusi yang juga dibersamai oleh Mbak Masnuah dan Mas Haryanto ini menampilkan dua film berjudul Dua dan Papa Hao. Film pertama bercerita tentang hubungan remaja yang kelewatan yang seringkali menjadikan perempuan menjadi korban. Film kedua bercerita tantang anak yang dilahirkan dari korban perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa pada tahun 1998.
Beberapa pasal dari rancangan undang-undang yang mau disahkan ini menurut Mbak Masnuah dan Mas Haryanto merugikan perempuan sebagai korban. Alasannya korban menjadi enggan untuk melapur saat menjadi korban kekerasan akibatnya pelaku kekerasan semacam perkosaan akan lebih nyaman. Mereka mengusulkan beberapa pasal dalam RUU itu untuk dihapuskan.
Sebuah undang-pasti pasti ada latar belakangnya, ada otak-otak yang mempengaruhi munculnya sebuah kalimat di dalam rancangan undang-undang. Budaya patriarki muncul dalam teks undang-undang, judul berita, pola intrograsi, hingga keputusan hakim.
Koran nasional mengeluarkan berita berjudul, “Perempuan selingkuh tertangkap….” Judul ini dibuat oleh manusia dengan sudut pandang laki-laki, karena jika ada perempuan selingkuh berarti juga ada laki-laki yang selingkuh pula. Sebuah berita lagi, “Setiap bulan terdapat 50 janda di kabupaten….” Berita ini juga dibuat oleh wartawan dengan otak serupa, mengapa? Karena jika ada 50 janda artinya juga ada 50 duda.
“Kok bisa kamu sampai diperkosa, pasti pakaianmu tidak sopan ya, pasti pakianmu menggoda ya.” Pertanyaan itu diajukan kepada seorang korban. Korban menjadi korban untuk kesekian kalinya. Korban seksualitas seperti perkosaan akan dianggap tidak lagi suci dan bersih lagi oleh masyarakat sekelilingnya. Seumur hidupnya.
Masalahnya adalah otak mesum, sedikit-sedikit pingin berhubungan sek, lihat pantat sedikit sudah “berdiri”. Kegitan yang diselenggarakan oleh teman-teman Komunitas Sinema Demak ini sangat mulia. Di ruang sempit, pojok, tidak menunggu gedung kesenian, mereka menyelenggarakan semampu-mampunya. Kegiatan seperti ini harus sering-sering diselenggarakan dan diikuti agar anak-anak muda tidak menganggur dan sedikit-sedikit mesum. Selenggarakan banyak kegiatan untuk mengalihkan otak mesum.