Sebuah kota selalu menyajikan cerita, juga kota lama Semarang. Kota ini, dilihat dari sisa-sisa aritektur bangunannya penataan jalan adalah kota besar dan mahal. Dulu, tidak sembarang orang dapat masuk di kota ini. di setiap jengkal pagarnya dijaga oleh pasukan keamanan.
Namun kejayaan itu telah melepuh dan semakin pudar. Terakhir kejayaan itu tergelar melalui pasar Johar, sekarang sudah pudar dan tidak kunjung tegak kembali. Sekarang ini masih ada gereja Blenduk, masjid Kauman sebagai tetenger kejayaan.
Sisa-sisa itu diceritakan dengan apik oleh tiga tukang cerita, Ahsanul Mahdzi, Afrif Fita Kuriawan, dan Fitriyani dalam sebuah buku bersampul marun berjudul Slompret Tuan Sekober & Burung-Burung terbitan Kelab Buku Semarang.
Ahsanul menceritakan Kota Lama Semarang melalui seorang marbot masjid Kauman bernama Abdul Malik. Dari suara adzan Abdul Malik inilah Ahsanul melalui cerpen berjudul “Slompret Kematian” menyapa sudut pasar warisan Karsten, berikut sopir-sopir, pedagang, dan juru parkir. Sanul menceritakan kehidupan kota lama, suasana, pekerjaan. Selain yang telah disebutkan, Sanul juga menyebut gilo-gilo, dagangan yang menjajakan kuliner, juga tukang plat nomor dan stempel. Kehidupan khas yang tidak luput disapa oleh Sanul adalah togel, dari kematian ia memunculkan perilaku meramal nomor oleh masyarakat. Sebuah kalimat bernada menjengkelkan diucapkan lepas kematian Ari Togel: “Kita mendoakan yang mati ,agar ia memberi keberuntungan bagi yang hidup.”, dikatakan teman-temannya setelah tahlilan kemudian meramal nomor togel.
Pengarang berambut kriwil dan berjambang ini romantis juga rupanya, ada adegan rayu-merayu antara Iwan Kidal kepada penjaga warung Zulaekha. Begini dialognya: “Kaukah yang memasak semua ini?”
“Bagaimana jikalau aku yang memasak semua ini?” tanya Zulaekha.
“Senang rasanya jika mempunyai istri yang pandai memasak” jawab Iwan Kidal.
Peran Abdul Malik di masyarakat kota lama selain menjadi marbot adalah meniup terompet mengabarkan bahwa salah satu penduduk meninggal dunia. Peran itu hendak diberikan kepada Iwan Kidal, anaknya. Akhirnya benar-benar diembannya saat Abdul Malik meninggal dunia.
Abdul Malik, seorang marbot, petugas adzan di masjid besar Kauman tentu saja bukan orang sembarangan. Kreterianya tidak hanya suaranya bagus tetapi juga saleh dan berpengetahuan agama tinggi. Johar selain pusat perdagangan, gedung-gedung kolonial, pecinan, juga pusat pengetahuan Islam. Di sana berdiri pesantren dan Kiai-kiai penting. Kitab-kitab dicetak, disebarkan, dan dipelajari.
Jika saya Abdul Malik maka saya tidak akan memberi nama anak dengan sebutan Iwan. Mastilah saya beri nama Muslih, Mustaqim, Ghofar. Anakku pasti saya titipkan di pondok yang berdiri di sekeliling Masjid Kauman. Tapi ini zaman memang sedang slewah, banyak hal terjadi tidak sebagaimana mestinya.
Cerpen kedua dalam buku ini berjudul “Persaudaraan Kasih Tuan Sekober”. Arif menceritakan kota dari sudut pandang seorang peneliti yang ingin meneliti logo-logo. Demi meleburnya penelitiannya itu ia harus menginap di salah satu anggota persaudaraan. Logo Persaudaraan Kasih Tuan Sekober yang anak menjadi bahan penelitiannya.
Melalui inilah ia menceritakan tentang premanisme dan cara kerjanya, termasuk cara perikrutan anggota, mencari pelanggan. Setiap jengkal tanah di kota lama harus merasa berhutang budi kepada Tuan Sekober. Jika ada orang mendirikan usaha maka harus bekerjasama dengan membayar pola tahunan atau bulanan. Jika usahanya tidak mau bekerjasama maka ia akan diganggu dengan berbagai cara agar usaha itu bangrut.
Masalah akut yang dihadapi kota Semarang dan tidak kunjung selesai adalah banjir. Arif juga mengangkat masalah itu. Melalui seorang tokoh, ia memprediksi tujuh tahun lagi untuk memasuki rumah itu pasti dengan merangkak seperti kadal karena air yang terus naik.
Arif menceritakan tentang sedimentasi dan penurunan permukaan tanah. Arif bercerita tentang Mercusuar yang diubah menjadi masjid. Itu artinya telah terjadi sedimentasi yang cukup banyak. Mercusuar biasanya berdiri di tepi pantai sekarang masjid itu menjorok di perkampungan.
Sekarang yang terjadi tidak sedimentasi tetapi sebaliknya. Penurunan air tanah diakibatkan oleh pola hidup, tanah tidak mampu menyerap air sementara air tanah terus disedot oleh kebutuhan rumah tangga dan industri. Air hujan lekas-lekas dialirkan ke laut. Konon Jepang pernah mengalami ketenggelaman seperti Semarang dan sekitarnya, mereka mengatasinya secara bertahaap dan komprehensif, selama 50 tahun tanah baru bisa naik lagi.
Fitriyani dalam “Barangkali ada burung melintas di taman ini” bercerita tentang perilaku masyarakat terhadap sampah. Di sela-sela itu dia bercerita tentang pedagang kaki lima, tukang parkir, penjual sosis, dan wisatawan. Seorang wisatawan merasa melihat burung, seorang pedagang memastikan itu sampah karena burung tidak lagi hinggap di taman itu dan tergantikan oleh sampah.
Fitri bercerita tentang kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perilaku manusia. Burung-burung yang yang dulu memenuhi sepanjang jalan di Srondol sekarang juga pergi entah kemana, kata Fitri.
Kehidupan kota dan masalahnya tersaji dalam tiga cerpen di buku ini. Menilik sebuah kota kita harus juga menilik karya sastra yang melingkupinya. Kota punya cerita.