DODI AMBARDI, MAJALAH TEMPO, 4 SEPTEMBER 2016
KITA mengenal pepatah lama “nama membawa rezeki”. Karena itu, pada masa silam, orang tua memilih nama untuk anaknya yang membuat doa agar kelak sang anak menjadi orang yang makmur. Lalu kita mengenal nama-nama yang bermakna kekayaan, kesuksesan, atau keberuntungan: Suharto, Sugiharto, Sri Rejeki dengan variasi bahasa Arab, Rizki; Adrian (Latin, kaya raya), Asher (Ibrani, beruntung), Edmond (Inggris, makmur), Yasir (Arab, kaya raya), Zarifa (Arab, sukses).
Pengusaha juga memendam keinginan yang sama. Ketika memilih nama, sang pengusaha membayangkan bahwa perusahaannya kelak membawa keberhasilan. Dari itu kita mendengar nama PT Podomoro, Bank Artha Graha, Karoseri Langgeng, dan PT Toba Sejahtera. Secara beruntun, arti nama ini masing-masing adalah [pembeli] ramai berdatangan, rumah uang, [usaha yang] abadi, dan tentu saja PT Toba yang mendatangkan kesejahteraan.
Namun, dalam dua decade terakhir, pola penamaan usaha tampaknya mengalami pergeseran drastic, setidaknya dalam jagat kulineri. Serbuan waralaba asing di bidang kulineri mungkin bisa kita tuduh sebagai penyebabpergeseran itu. Reaksi yang muncul di kalangan pembisnis kulineri pun terbelah menjadi dua; yang pertama adalah kelompok epigon atau pembebek dan yang kedua kelompok pengendara tradisi. Sementara kelompok pertama memilih cara penamaan asing, kelompok kedua melakukan revitalisasi nama lokal-tradisional.
Dulu kita dengan mudah menemukan Depot Eco, Rumah Makan Padang Untuang, dan Kedai Kopi Barokah. Sekarang kita lebih garmpang menjumpai nama asing seperti Mister Burger, Hoka-hoka Bento yang diringkas menjadi Hokben, Fish & Co, Olive Fried Chicken, Chicago Fried Chicken, dan yang jauh hadir lebih dulu California Fried Chicken dan belakangan diringkas menjadi CFC saja. Pemilik dan tukang masak di bisnis kulineri ini orang Indonesia, dan moyoritas konsumennya bisa dipastikan adalah konsumen berlidah Indonesia.
Yang jelas, nama-nama itu tidak lagi memuat doa atau harapan tentang peruntungan usaha di masa depan. Semua nama itu sekedar deskriptor yang memberikan informasi tentang jenis makanan atau tipe sajian atau cara memasak yang digoreng, direbus, dibakar, dikukus, atau ditumis dengan kaldu yang berlainan.
Penggemar kulineri jenis ini layaknya adalah lapis kelas ,enengah dengan lidah kosmopolit, yang kini jumlahnya membengkak. Meskipun membuat bahan yang semula asing seperti keju, aneka saus Eropa dan Amerika, kaldu berbasis keledai yang khas Jepang, serta adonan tepung gandum krispi pelapis daging ayam, aneka sajian asing tersebut dioplos dengan sejumlah bumbu yang akrab dengan lidah Melayu. Karena itu, nama-nama dan menu asing tersebut tetap bisa menjangkau mayoritas konsumen domestik.
Tapi mengapa bahasa asing? Rupanya, nama-nama asing tersebut menyuntikkan sebentuk martabat karena sebagian besar menu itu ditawarkan di restoran dengan ruang berpendingin dan memberikan asosiasi impor. Tak asa salahnya jika kita kemudian memodifikasi pepatah lama di atas menjadi, “nama membawa gengsi”. Fried chicken tak lain adalah ayam goreng. Bumbu bisa sama, renyah dan gurihnya pun mirip belaka. Yang berbeda adalah gengsi yang melekat atau dilekatkan pada penamaan asing. Spekulasi ini masuk akal ketika waralaba kulineri asing menyerbu Indonesia secara massif, dan-yang lebih pentinglagi-laris. Konsumen pun bisa berpamer foto sajian makanan lewat media sosial dengan latar belakang interior restoran yang berkelas.
Kontran dengan penamaan asing dan “modern”, sebagian pebisnis kulineri enggan membebek, dan justru menoleh ke masa silam dengan cara melakukan revivalisasi menu dan nama-nama lokal-tradisional. Lantas muncullah nama-nama berikut: Gudeg Yu Djum, Gudeg Bu Tjitro, Gudeg Bu Amad, Ingkung Mbah Cempluk, Soto Seger Mbok Giyem, dan Soto Beling Boyolali Yu Moel.
Semua level warung warung dan restoran itu menonjolkan nama sajian Jawa, atau lebih spesifik lagi menu Yogya. Namun yang menarik justru pilihan kata “bu”, “mbah,”mbok” dan “yu” yang diletakkan di depan nama pemilik atau pendirinya. Semua kata ganti ini asliya adalah kata ganti jelata. Pada masa silam semua kata ganti itu digunakan kalangan bawah. tapi revivalisasi tradisi ini menyepuhkan elemen baru pada aneka kata ganti itu: eksotisme tradisi. Bu Amad tak lagi semata menunjukkan nama pemilik dan warungnya, tapi tawaran resep otententik makanan khas gudeg yang diwariskan turun temurun. Demikian juga Mbah Cempluk. Ia mewakilitradisi kuliner lokal yang mengendap lama, yakni cara memasak ayam utuh dengan dengan rendaman santan dan rempah sebelum diungkep dalam kuali gerabah berwarna tanah. Kini menu-menu eksotis itu menjangkau kelas menengah.
Strategi revivalisasi ini tak terbatas pada tradisi Jawa saja. Daftar eksotisme tradisi juga mencul di berbagai sajian dan wilayah Nusantara lain: Restoran Mang Engking, Dapur Sunda, Bengong Jeumpa, Bale Bengong, Konro Karobosi, dan tentu kita tak melewatkan Duo Sakato. Nama, ternyata, membawa pembeli.
*Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.