Aku mempersiapkan momen lebaran ini untuk belajar bagi Bening. Semua sudah aku rancang sedemikian rupa. Lebaran mulai dekat, di kampung persiapan mulai dilakukan. Mulai dari pemasangan lampu, pengengecatan rumah dilakukan demi menyambut lebaran. Tidak lupa baju baru. Entah siapa yang memulai, lebaran identik dengan baju baru. Mungkin atas kesadaran bahwa lebaran adalah kembali fitri sebagaimana diciptakan.
Itulah mengapa menjelang lebaran toko-toko berjubel sedangkan barisan shaf berkurang. Puasa adalah ajakan kembali ke Allah, pada masa-masa itu kembali ke dunia.
Pada tahun ini aku sengaja tidak membeli baju menjelang lebaran. Aku ogah berjubel. Bagiku baju membeli nanti dan membeli sekarang sama saja. Rumah dicat sekarang dan setelah lebaran sama saja. Aku tidak mau mengikuti alur pasar yang luar biasa gila ini. Sebuah barang harganya bisa meningkat 100 persen saat menjelang lebaran begini. Penjual baju di pinggir jalan dengan kualitas ala kadarnya jadi rebutan. Pokoknya memakai baju yang beda saat lebaran nanti. Hari pertama memakai apa, kedua, ketiga, dan seterusnya. Untung semua tidak berpikiran seperti aku, orang jual beli maka ekonomi berputar.
Ini rupanya membuat anakku Bening yang berusia empat tahun gelisah. Sebagaimana teman sebayanya, bajunya telah komplit. Dibelikan oleh ibunya dan dikirimi oleh budenya, disuruh memilih oleh Budenya yang penjahit. Beres. Bening gelisah karena Bapaknya belum punya baju baru. Beberapa kali dia bertanya, “Bapak kok tidak punya baju baru?”
Peristiwa lebaran ini akan aku gunakan sebagai cara memberitahu Bening tentang nilai harta dan darimana harta dihasilkan. Orang tuaku tidak pernah mengajariku mencari uang. Beliau mengajari anak-anaknya untuk belajar dan mengabdi kepada masyarakat. Maklum beliau adalah guru negeri. Siang hari mengajar di madrasah dan malam hari mengajar mengaji kepada orang kampung. Maka nalar bisnis anak-anaknya tumpul. Padahal, simbah kami dari pihak Bapak maupun Ibu semuanya adalah pedagang. Sekarang semua anak Bapak adalah guru. Aku ingin mengajari Bening tentang nilai uang sejak dini, agar dia menghargainya.
Puncaknya setelah salat Id, keluarga besar berkumpul. Semua mengenakan baju baru. Bening mendapati Bapaknya mengenakan pakaian yang dia tahu bukan pakaian baru. Setelah acara selesai kami berdua di kamar. Bening bertanya serius. Wajahnya murung “Mengapa toh Bapak tidak pakai baju baru? Bapak tak belikan baju baru ya?”
Komunikasi inilah yang aku tunggu-tunggu. Aku bilang ke dia. “Memangnya Bening punya uang, mau membelikan baju Bapak?”
Setelahnya dialog terjadi tentang uang, bagaimana uang dihasilkan, mengapa orang bekerja hingga jenis-jenis pekerjaan.
Terlalu dini untuk anak umur empat tahun. Aku ingin mengajarkan kepada dia tentang penghargaan kepada jerih payah orang tua. Penghargaan terhadap uang itu bukan agar menjadi orang pelit, bukan pula agar terlalu menghormati uang tetapi agar menggunakan uang sebagaimana mestinya dan bukan untuk keperluan-keperluan yang tidak manfaat.
Tapi betapa pun mulianya tujuanku itu terlalu berat untuk anak usia empat tahun. Beberapa kali ia bertanya kepada ibunya tentang pekerjaan, uang, dan bagaimana cara membelikan baju baru kepada Bapaknya. Aku anggap ini adalah peristiwa cinta. Aku yang ingin mengajari Bening tentang penghargaan terhadap kerja dan jerih payah menghasilkan uang malah diajari Bening tentang cinta. Cinta dia, gelisahnya dia menyaksikan Bapaknya tidak mengenakan baju baru dan ia berpikir bagaimana membelikan baju untuk Bapak. Dan tidak ada yang lebih mahal dibanding cinta. Tuhan menitipkan ilmu kepada siapa saja-belajar bisa dari orang tua ke anak juga sebaliknya. Salam.
Bening pintar Banget
terimakasih