“Tsani, kamu jahat. Kamu tidak adil. Kamu hanya ingin menangmu sendiri. Kamu hanya memanggilku saat kamu membutuhkanku. Sementara ketika aku ingin diskusi denganmu kamu menghindar.”
Itu adalah pesan WA terakhir yang diterima Tsani dari Sam. Tsani tahu itu adalah puncak kemarahan Sam. Tiga kali Sam meminta waktu untuk bertemu dan Tsani selalu menolak. Bukan Tsani tidak kangen, bukan juga Tsani marah dengan Sam. Tsani sangat ingin bertemu dengan Sam, ia ingin bercerita banyak. Tsani ingin sekali mendengar pendapat-pendapat Sam atas masalah yang sedang ia hadapi. Tapi Tsani menahan.
Tsani mengesampingkan Sam untuk sementara waktu. Batin dan pikirannya sedang sibuk berdebat dengan diri sendiri. Hal ini akibat percakapannya dengan Mbak Bila, siniornya. Katanya, “Hijrahmu kurang kaffah, Tsani. Kamu tidak total berhijrah.” Komentar Mbak Bila menanggapi kedatangan Sam beberapa waktu yang lalu.
“Aku yang menghendaki dia datang Mbak. Aku butuh ngobrol, aku butuh teman diskusi. Aku bosan sendirian di kos.”
“Bukankah kamu bisa mencari teman yang lain, yang perempuan. Kamu itu senior Tsani, menjadi contoh bagi adik-adik. Jika memang sudah cocok, segera saja menikah. Itu lebih baik.”
“Belum Mbak.”
“Kalau belum, kamu harus menjaga. Pikirkan ulang ya Tsani untuk berdekat-dekat dengan Sam. Aku sudah mencari informasi tentang dia. Dia itu sekuler, tidak jelas ke kanan atau ke kiri. Carilah calon imam yang jelas. Apa perlu Mbak carikan?” Suara Mbak Bila meninggi dan Tsani menggelengkan kepala.
Mbak Bila pamit. Tsani merasa beruntung, ia tidak diceramahi perihal hijrah, hijab, dan lain-lain. Ceramah itu sudah ia hafal karena sudah ia dengar berulang-ulang sejak semester awal. “Hijrah itu bergerak dari hal-hal buruk ke hal-hal yang baik. Dari hal-hal salah menuju hal-hal yang benar. Perubahan itu dari batin hingga fisik. Dari yang tidak terlihat mata hingga yang tampak mata. Jika kemarin kamu belum benar dalam berpakian maka orang berhijrah memperbaiki cara berpakaiannya. Orang-orang berhijrah mendekat pada semua yang dipraktikkan oleh Nabi. Amannya ya meniru cara berpakian orang-orang yang hidup di lingkungan Nabi hidup. Itu logis dan jangan banyak alasan seperti orang-orang di luar sana. Itu bid’ah. Jangan mencampurkan antara syariat dan budaya!”
Ceramah Mbak Bila juga senior-senior yang lain itu selesai dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sementara itu Sam pernah mendebatku ketika aku mengutarakan itu. Katanya, “Ketika Islam datang ke sini, di sini sudah ada kebudayaan asal. Secara alamiah kebudayaan yang datang dengan kebudayaan asal akan berdialog. Cara ini lebih aman, cara yang lain adalah dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Salah satu ciri kebudayaan adalah berubah.”
Aku berada di tengah-tengah antara Mbak Bila dan Sam. Tidak semua aku sependapat dengan Mbak Bila, tidak juga semua pendapat Sam aku setujui. Aku setuju seseorang harus berhijrah menuju yang baik, menuju yang benar. Tapi aku tidak setuju jika harus menyalahkan orang lain. Bolehlah orang punya pendapat lain dan kita tetap bisa berteman. Juga tentang kebenaran, tentang keimanan aku berhenti, tetapi tentang kebenaran aku berjalan-mencari. Maksudnya begini, tentang keyakinan pada Allah, bersandar hanya pada Allah, aku pegang kuat-kuat. Tetapi tentang kebenaran aku terus mencari. Mungkin kebenaran ada padaku, tetapi mungkin ada pada orang lain.
Hijrah adalah sebuah perjalanan. Hal itu dilakukan karena ketika dilakukan di Makkah dakwah Nabi selalu terancam. Usaha untuk menghentikan dakwah Nabi dilakukan melalui berbagai cara. Kaum muda seperti Abu Lahab atau Abdul Uzzay ibn Abdul Muttalib dan Abu Jahal atau Abul Hakam Amr ibn Hisyam menghambat dakwah dengan kekerasan, mengancam pengikut Nabi dari golongan lemah. Sementara golongan tua melakukan lobi dengan paman beliau Abu Mutholib. Nabi menyuruh pengikutnya dari kaum yang lemah untuk berhijrah ke Habsyah (Etiopia).
Hal yang paling efektif adalah menuduh Muhammad sebagai tukang sihir. Dengan sihirnya Muhammad dituduh mempengaruhi penduduk Makkah. Namun, ini yang membuat Tsani kagum dan ingin segera mendiskusikannya dengan Sam. Selama mengalami tekanan, kebencian, fitnah, kedengkian dalam berdakwah, beliau tidak pernah sekalipun hilang kontrol, emosi sehingga berprilaku buruk baik tindakan maupun perkataan. Beliau juga tidak putus asa.
“Jadi jika kita merasa membela beliau tetapi dengan kata-kata kasar, emosi tidak terkendali, maka kita tidak bisa disebut meneladani Rasulullah? Bukankah Sunnah adalah perkataan, perbuatan, perangai, dan persetujuan beliau?” Kalimat itu aku sampaikan ke Sam melalui telepon.
Sam menjawab, “Jadi kita sudah bisa ketemu? Aku pingin diskusi tentang Jihad.”
“Jumat sore ba’da Asyar ya., di kosku? Tapi ada syaratnya.
“Apa?”
“Kita ngobrol dibatasi tirai. Setujukan?”
“Tidak masalah.”