Ilmu Rengginang

Perayaan lebaran telah usai tetapi di meja tamuku masih ada beberapa makanan kecil. Mungkin karena tamuku tidak sebanyak lebaran sebelumnya. Makanan itu disebut turbo, turahan bodo. Salah satu makanan kering yang aku sukai adalah rengginang, sebuah makanan berbahan baku beras ketan. Ini adalah makanan khas yang awet tidak tergantikan dengan makanan-makanan baru. Rengginang sudah ada sejak aku masih kecil. Biasanya disajikan kalau ada orang punya gawe, punya hajat seperti pernikahan, atau khitanan. Bedanya jika dulu rengginang ukurannya besar-besar, rengginang di meja tamuku ukurannya kecil dan habis hanya tiga kali gigit.

Yang membuat aku ketagihan sama rengginang adalah renyahnya. Ya, rengginang ini mulanya beras ketan, dimasak, dikasih bumbu, dicetak sesuai ukuran yang kita kehendaki, kemudian kami keringkan. Setelah kering baru kami goreng. Rengginang siap disantap. Suatu hari aku ambil rengginang ke dalam toples, karena ada panggilan dari istri maka rengginang itu aku letakkan di atas meja. Pada malam itu aku lupakan rengginang. Rengginang tidak jadi aku santap dan aku mengerjakan pekerjaan lain. Pada keesokan harinya aku melihat rengginang yang terletak di atas meja. Aku merasa bersalah karena sudah mengeluarkannya dari dalam toples tetapi tidak jadi memakannya. Maka untuk menebus kesalahan yang aku lakukan tadi malam maka aku santap rengginang itu. Ternyata rengginang itu sudah tidak enak, tidak renyah dan bumbunya tidak terasa. Aku mendapat pelajaran dari kisah ini.

Perubahan tempat bisa mengakibatkan perubahan rasa. Tempat menjadi hal penting dalam hal ini. Rengginang diletakkan di tempat yang berbeda maka rasanya menjadi berbeda karena sifatnya juga berubah yang tadinya renyah menjadi melempem. Ada yang berpendapat bahwa posisi menentukan prestasi. Aku memperhatikan tumbuhan, ada tumbuhan yang bagus di tempat yang teduh tetapi ada yang tumbuh bagus di tempat yang terkena sinar matahari. Ada sifat dasar yang menjadi pertimbangan kita cocoknya di tempat yang mana.

Dulu kita sering dinasihati oleh orangtua kita; jangan milih-milih teman. Maksudnya agar kita tidak membeda-bedakan teman. Jangan hanya mengumpuli teman yang terlihat kaya dan menjahui teman yang terlihat miskin. Namun nasihat dari orangtua itu jangan digebyah uyah, jangan diterapkan di semua kondisi dan situasi. Kita harus mampu melihat konteks waktu dan tempatnya karena tempat kita tongkrong, dengan siapa tongkrong akan berpengaruh terhadap perilaku kita. Apa lagi jika kita masih anak-anak yang mudah terpengaruh. Seorang pemuda santri bisa berubah menjadi perampok karena dia berubah lingkungan. Mari waspada terhadap posisi kita. Berkumpul dengan orang baik di tempat yang baik maka kita lebih besar kemungkinan menjadi orang baik. Kata lagu tombo ati “Wong kang sholeh kumpulono.”

Lalu ada yang tanya, tapi kok ada Kyai yang pergi ke diskotik, ke pelacuran? Oh ini beda beliau-beliau sudah kuat. Mereka sudah saatnya ngumpuli. Jika dibaratkan air, beliau itu mampu menjernihkan air yang tadinya keruh. Orang yang seperti itu membutuhkan tirakat yang panjang. Lha bicara rengginang kok sampai mana-mana.

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 143

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.