Aku adalah salah satu anak kecil yang ikut truk menarik turunkan tembakau. Riang karena mendapat sedikit uang jajan. Di kampung ku dulu, saat panen tembakau adalah kegembiraan se-kampung. Panen itu biasanya bulan Juli Akhir-Agustus. Di lain waktu kami anak-anak mencari batang pisang, di pisah-pisah dan di keringkan. Batang pisang kering itu laku digunakan untuk membungkus tembakau. Pada malam hari di musim panen, para warga begadang merajang tembakau. Padahal pada pagi harinya mereka berangkat lagi ke sawah, memetik daun, membuang ulat. Baju yang mereka kenakan hitam dan lengket oleh klelet tembakau itu.
Aku anak petani tembakau. Aku membantu Bapak ku setiap pagi dan sore dari menanam dan menyiram saat usia tembakau itu masih dini. Ada satu masa harga tembakau anjlok. Aku bilang pada Bapak, “Lha Bapak tidak merokok kok, ya harga tembakau turun.” Kami sekeluarga memang bukan perokok meskipun menanam tembakau.
Di muktis kafe aku mendapatkan banyak informasi tentang tembakau. Mas Dika penunggu cafe tembakau yang terletak di Pecinan Semarang itu mengibaratkan, “jadi kalau diibaratkan makanan rokok itu ada nasi dan lauk. Tembakau Karangawen itu bagaikan nasinya, maka yang dibutuhkan banyak. Sedangkan tembakau dari tempat lain, yang harganya lebih mahal bisa diibaratkan lauknya. Dibutuhkan di rokoknya lebih sedikit tetapi harganya lebih mahal. Foto dalam gambar ini terletak di salah satu sudut kafe. Aku ambil gambar pada peluncuran buku terbitan Penerbit Buku beruang pada Rabu, 05 Mei 2021.