Media Indonesia – 09 Mei 2021
Marlin memindahkan makanan yang baru saja ia masak dari dapur ke meja makan. Di sana ada nasi putih, tempe goreng, sambal, dan sayur mangut. Terdengar bunyi sendok terbentur dengan gelas saat ia membuat minuman teh. Makanan untuk sahur sudah siap. Tetapi suami dan anaknya belum juga bangun. Padahal Marlin telah membangunkan mereka berkali-kali. Pengeras suara masjid mengabarkan waktu sahur tinggal lima belas menit.
Udara dingin pagi itu. Marlin ke kamar, dilihatnya suaminya masih meringkuk terbalut sarung. Ia goyang-goyang pundak suaminya itu. “Pak-pak, bangun.” Suaminya meluruskan tubuh. “Ya sebentar,” jawab suaminya.
Marlin berpindah ke kamar Bagus, anak satu-satunya keluarga itu. Bagus tidak beda dengan Bapaknya. Bagus terlelap. Masih ada Hp di tangannya. Bantalnya basah karena air liur. “Gus-bagus bangun Nak. Ayo waktu sahur tinggal sepuluh menit.” Bagus duduk.
Sebenarnya Marlin tidak tega membangunkan mereka. Suaminya seharian bekerja di perpustakaan. Pasti dia kelelahan. Dia butuh istirahat yang cukup. Demikian juga dengan anak lelakinya. Pada siang hari anak itu penuh aktifitas. Mulai dari main band, belajar, footsal, dan banyak lagi aktifitas fisik lain yang menguras tenaga.
Tetapi sahur juga penting. Jika tidak sahur maka puasa mereka akan jauh lebih berat. Tubuh mereka akan lemas saat beraktifitas pada siang hari. Mereka bisa saja kehabisan cairan. Di banyak kesempatan ia sering berdebat dengan anak dan suaminya tentang sahur. Suaminya berkata, “Sahur adalah hal paling berat dalam ibadah puasa. Ini mengubah kebiasaan harian. Waktu yang biasa digunakan untuk tidur, kali ini digunakan untuk makan. Mata masih berat dan perut kita menolak.”
Bagus, anaknya membenarkan. “Bagaimana jika sahur ditiadakan di keluarga ini. Toh tidak sahur tidak membatalkan puasa. Atau waktu sahur ditunda sebelum tidur. Jadi kita tidak terganggu oleh bangun di pagi buta?”
Marlin menyanggah. Ratu sekaligus babu di rumah itu tidak setuju dengan usulan Musyafak dan anaknya. Ia katakan, “Sahur itu tidak hanya masalah kuat dan tidak kuat. Sahur menambah kemantapan berpuasa. Sahur juga masalah kesungguhan kita menjalankan ibadah yang setahun sekali ini. Saat sahur itu kita tancapkan niat bahwa kita akan melaksanakan ibadah dengan cara menahan lapar dan dahaga, menahan mulut, mata, dan telinga selain melihat, mendengar, dan berkata yang baik-baik saja. Memindahkan waktu sahur pada saat sebelum tidur juga tidak baik untuk tubuh. Makan sebelum tidur itu buruk untuk kesehatan.”
Meskipun menang voting tentang sahur tetapi aturan Marlin masih dipakai. Sahur tetap dilaksanakan di keluarga itu. Karena jika Marlin ngambek seluruh aktifitas bisa ikut mandek. Pernah Marlin ngambek, persoalannya adalah Marlin minta dinding ruang tamu dicat ulang. Waktu itu menjelang puasa. Cat banyak yang mengelupas. Permintaan itu sudah diajukan oleh Marlin sejak tiga bulan yang lalu tetapi tidak kunjung dituruti oleh Musyafak. Akhirnya Marlin menggunakan jurus pamungkas. Marlin mogok tidak mencuci pakian, menggosok pakaian, tidak memasak, tidak menyapu.
Musyafak bingung waktu mau berangkat ke kantor tidak ada satu baju pun yang siap dipakai. Bagus juga bingung karena tidak ada sarapan yang bisa ia santap. “Ngambeknya ditunda lah Bu. Ini disiapkan dulu baju kerjaku. Nanti pulang kerja akan aku cat tembok itu. Aku janji.”
Marlin tidak bergeming. Ia diam saja tidak menjawab. Matanya menatap dinding. Nafasnya ngos-ngosan, dan hidungnya kembang-kempis. Tangan Marlin merobek-robek kertas. Akhirnya Musyafak telpon kantor untuk izin. Ia beralasan sakit. Demikian juga dengan Bagus. Bagus juga izin tidak berangkat sekolah. Bapak dan anak itu berangkat ke toko bangunan membeli cat dan kuas. Mereka bahu membahu mengecat tidak hanya dinding ruang tamu tetapi juga dinding kamar hingga dapur.
Sementara Musyafak dan Bagus mengecat rumah, Marlin memulai pekerjaannya. Pertama yang ia lakukan adalah memasak. Dari ruang tamu Bagus mendengar ikan asin jatuh di penggorengan. Selanjutnya aroma menjalar ke hidung. Usai memasak, ia menggosok pakaian, mencuci baju, mencuci piring. Begitulah the power of ngambek. Jangan pernah remehkan emak-emak, sekali dia ngambek, kelar hidup lho. Dengan pertimbangan itulah, meskipun Musyafak dan Bagus berat melakukan sahur mereka tetap melakukannya.
Pengeras suara di masjid mengabarkan waktu imsak tinggal sedikit. Musyafak dan Bagus berjalan dari kamar ke meja makan seperti zombie. Matanya masih terpejam. Bagus duduk dengan mata masih tertutup. Harum cabe ditumbuk tidak menggairahkan saraf perutnya. Kepalanya miring ke kanan. Bagus seperti tidak mau terputus dari mimpi. Mungkin mimpi itu indah, menang footsal mungkin, sedang pacaran mungkin, jika terbangun buyarlah mimpi itu.
Marlin mengambilkan nasi sekaligus lauk dan diletakkan di depan Musyafak dan bagus. Musyafak meski dengan terpaksa menghabiskan seisi piring. Musyafak menutup sahur dengan segelas air putih. Musyafak bangkit meninggalkan Marlin dan Bagus. Musyafak kembali lagi meraih sarungnya dan meringkuk. “Tunggu sekalian subuhan Pak. Tinggal beberapa menit kok.”
Bagus hanya makan empat sendok nasi. Saat dia mau bangkit ibunya membentak. “Ayo makan lagi. Itu minum dulu.” Bagus makan lagi beberapa sendok, menengguk air putih kemudian berjalan menuju kamarnya. “Salat dulu Bagus. Biar tenang.”
Pagi hari mereka bertiga berpisah. Marlin memberesi rumah, Musyafak berangkat ke kantor, dan Bagus berangkat sekolah. Buku adalah teman Musyafak. Ia hapal judul buku dan pengarang hanya dengan memegangnya. Pada pagi hari ia menata buku-buku yang dikembalikan. Ia kembalikan buku-buku itu ke tempat semula. Ia juga merapikan meja-meja di ruang baca. Terkadang para pengunjung mengambil buku dan tidak mengembalikan ke tempat semula.
Waktu istirahat tiba. Jika hari biasa, ini adalah waktu jam makan siang. Perut teriak-teriak minta diisi. “Ikut apa tidak Fak” tanya Yanto, temannya sekantor.
“Kemana?”
“Jalan-jalan ke luar.” Akhirnya mereka bertiga ke luar kantor. Mereka naik mobil keliling kota. Musyafak agak curiga ketika mobil melambat saat melewati rumah makan. Ia semakin panik saat Yanto memasukkan mobil di area rumah makan itu. Yanto dan Eko tertawa-tawa. Kami puasa dhuhur, ini mau buka puasa. Kamu mau ikut tidak? Jika tidak ikut ya tinggu di mobil tidak apa-apa. Dari parkir mobil tercium aroma ayam goreng dan sambal.
Musyafak turun dari mobil. Yanto memesan tiga menu. Sekarang di depan mereka ada ayam goreng, sambal, lalapan, dan jus alpukat. Jus itu berembun pada gelas luarnya. Orang-orang makan diselingi obrolan. Sendok dan garpu beradu dengan piring. Lagi-lagi Yanto berkata, “Itu kalau kamu mau berbuka juga. Tapi kalau tetap mau puasa sampai magrib juga tidak apa-apa. Nanti makanan itu akan kami santap berdua.” Yanto dan Eko memakan kesetanan. Mereka tidak peduli jika Musyafak menderita.
Sekali saja tidak apa-apa. Toh nanti bisa diganti di waktu yang lain, pikir Musyafak. Berlahan tetapi pasti tangan Musyafak bergerak menyentuh jus alpukat yang gelasnya basah. Yanto melirik tetapi mendiamkannya. Musyafak mengangkat jus itu dan mendekatkan sedotan ke mulutnya. Satu seruputan membasahi tenggorokan. Rasanya nyes. Ia telah batal puasa. Tanggung sekali. Ia seruput sekali lagi jus itu. Ia ambil piring dan ia dekatkan. Ia cuci tangannya. Ia cincang ayam goreng dan ia satukan dengan nasi, sambal, dan lalapan. Satu sendok pertama masuk ke dalam mulut. Ia kunyah sebentar dan masuk ke dalam perut. Beginikah rasanya Adam saat mengunyah buah kuldi?, pikir Musyafak. Karena ia merasa nikmat hanya pada kunyahan pertama. Kunyahan berikutnya terasa biasa saja. Tetapi ia tidak mungkin lagi menghentikan karena sudah terlanjur. Puasa tidak lagi bisa dikembalikan. Saat berjalan menuju tempat cuci tangan, ia bersitatap dengan Bagus, anaknya yang ternyata juga mengunyah makanan di rumah makan itu. Sekejap mereka terkejut. Kemudian mereka menguasai diri seperti tidak terjadi apa-apa. Bagus makan bersama teman-temannya dan Musyafak kembali bersama Yanto dan Eko.
***
Saat magrib tiba, mereka bertiga telah berkumpul di meja makan. Marlin telah menyiapkan buka untuk Bagus dan Musyafak. Semerbak kolak pisang beraroma pandan, sayur bayam, dan ayam goreng. Musyafak memimpin doa buka puasa, kemudian mengajak Bagus makan. “Ayo Gus, ini kolaknya dulu.”
“Siap Pak” jawab Bagus sigap.
“Semoga puasa kita hari ini diterima oleh Allah.” Kata Marlin sebelum mereka makan.
Muhajir Arrosyid – mengajar di PBSI FPBS Universitas PGRI Semarang, buku kumpulan cerpennya berjudul Menggambar bulan dalam gendongan.