KOPI BINGUNG

“Pokoknya harus dipotong.”

Rusli tidak setuju rambut Susan dicat warna coklat. Lelaki yang memegang kawasan itu ingin rambut pacarnya segera dipotong. Setelah menyuruh Susan memotong rambut, Rusli menggeber sepeda motornya menjauh dari warung ‘kopi bingung’ milik Susan.

Susan tidak peduli. Ia melanjutkan aktifitas semula. Menyiapkan warung yang menghidupinya beserta dua anaknya. Harum aroma kopi yang tersentuh air mendidih mengabarkan kepada para buruh proyek jalan tol sudah waktunya menyeruput kopi.

Warung kopi yang ia kelola itu biasa buka setelah asar dan baru tutup malam hari. Kadang pukul 21.00. WIB sudah kelar, tetapi kadang sampai pukul 22.00. WIB. Langganan warung Susan biasanya pekerja proyek jalan tol, sopir truk, dan juga buruh pabrik garmen. Mereka mampir sebelum pulang ke kos atau ke rumah masing-masing. Alasan mereka mampir tidak hanya mau menikmati kopi bikinan Susan tetapi juga bercanda dengan janda beranak dua itu. Susan juga tidak jarang memergoki mata-mata jalang itu menatap tubuhnya begitu lama. Di antara mereka ada laki-laki yang sudah punya cucu, tapi ada juga bocah-bocah SMA. Susan tahu itu, tapi mau apa lagi, warung kopinya harus bersaing  dengan warung-warung yang lain. Kalau dia menolak diperlakukan begitu, pelanggan bisa cabut ke warung tetangga. Lalu ia mau makan apa?

“Kopi bingung Jeng,” pinta Pak Tomo, pelanggannya yang baru saja masuk. Ia duduk, mengeringkan keringat di mukanya menggunakan handuk dan melepas topinya. Pak Tomo pelanggan pertamanya sore itu. Yang dimaksud dengan kopi bingung adalah kopi susu. Kenapa disebut kopi bungung? Karena kopi membuat mata menjadi melek sedangkan susu membuat mata menjadi merem.

Kopi yang dipesan oleh Pak Tomo diantar oleh Susan. Asapnya mengepul. Pak Tomo menghirup aromanya dan menunggu kopi menjadi hangat sebelum meminumnya.

“Rusli tidak ke sini?” Tanya Pak Tomo.

“Baru saja ke sini. Marah-marah melihat rambutku dicat. Ia menyuruh aku potong rambut. Ngasih uang tidak, ngatur-ngatur.”

“Dengar-dengar mau kawin sama dia?”

“Tadinya begitu Pak. Tapi makin kesini makin ragu aku sama dia. Tingkahnya itu lho seperti anak kecil. Suka cemburu berlebihan. Kan harusnya dia tahu, bekerja begini ya ketemu banyak laki-laki. Kalau tidak mau begini ya kasih duit biar aku di rumah saja. Sudah begitu suka ngatur-ngatur. Tidak boleh pakai baju ini, tidak boleh pakai lipstik terlalu mencolok, memeriksa HP. Pusing sekali, belum jadi istrinya aku sudah bikin pusing.”

“Itu artinya sayang, Jeng. Orang sayang itu takut kehilangan.”

“Sayang ya sayang, tetapi ya kalau keterlaluan jadi males.”

Satu lagi pelanggan datang. Kalau ini lebih muda, namanya Riyadi. Tambah sore warung kopi bingung biasanya tambah rame. Warung itu kecil saja, paling banyak muat lima belas orang. Jika di luar digelar tikar bisa sampai dua puluh lima orang. Warung ini berdiri di atas kali irigasi, berlantai papan, berdinding papan. Selain kopi juga dijajakan nasi bungkus, mendoan, bakwan, juga mi rebus. Tidak ada papan nama bertuliskan kopi bingung. Penyebutan itu diketahui dari mulut ke mulut karena warung Susan ini spesial kopi susunya.

Di kanan kiri warung Susan juga berdiri warung sejenis tetapi tidak ada yang seramai warung kopi Susan. “Padahal sepertinya bahannya ya sama saja, kopinya juga kopi biasa, susunya juga beli di warung biasa tapi kok rasanya bisa beda?” begitu kalau orang membicarakan warung kopi Susan.

“Apa mungkin dicampur susu miliknya ya?” kemudian mereka tertawa.

Susan menyapa Riyadi, tamu warung yang baru saja datang itu. “Kok kamu tidak beli mobil Di, baru saja dapat ganti untung proyek tol kok.”

“Buat apa Mbak?”

“Ya buat cari cewek toh. Kan gampang cari cewek kalau bawa mobil baru. Lha memangnya mau buat apa kalau tidak buat beli mobil? Mana aku tidak dapat kecipratan uangnya lagi.”

“Mau aku buat beli tanah lagi Mbak. Jual tanah ya harus dapat ganti tanah. Juga mau buat kos-kosan. Pabrik sepatu sudah mau operasi itu, pasti butuh karyawan, pasti karyawannya butuh tempat tinggal.”

“Cerdas kamu, Di.” Susan mendekat pada Riyadi menyuguhkan kopi susu pesanan. Dan Susan menepis tangan Riyadi yang mencubit paha Susan.

Perlakuan semacam ini jamak terjadi di warung Susan. Sebenarnya tujuan Susan mau dipacar oleh Rusli adalah biar pelanggannya tidak jawil-jawil padanya. Rusli adalah preman yang pegang pasar. Di kalangan pergaulan ia disegani. Tetapi ternyata pelanggannya hanya takut di depan saja, sedangkan ketika tidak ada Rusli, para pelanggan itu masih juga pegang-pegang bagian tubuh Susan. Kadang tangan, kadang kaki, kadang ada juga yang berani menjawil janggut. Selama masih sebatas itu Susan tidak begitu memberontak. Ia juga tidak melaporkan ini kepada Rusli. Alasannya kalau terjadi perkelahian nanti yang rugi dirinya sendiri, pelanggan itu pada lari.

Truk-truk berjalan berat membawa beban tanah dari gunung untuk jalan tol yang ditarget akhir tahun ini harus sudah jadi. Di belakangnya debu coklat menguntit. Pemandangan itu disaksikan oleh Susan setiap saat. Suara mesin berat memaku bumi, benturan antara besi dengan besi. Dalam lima tahun terakhir kampung ini berubah cepat. Daerah tempat tinggal Susan adalah kabupaten penopang. Jika kota yang ditopang telah penuh maka pabrik-pabrik geser ke daerah ini. Ketika ada pabrik maka disertai pendatang menyerbu. Mereka juga butuh tempat tinggal, tempat belanja. Itulah yang menjadikan kampung yang dulu tertutup menjadi terbuka.

Tanah yang digunakan tol ini dulunya adalah sawah. Sekarang pemilik sawah telah berubah pekerjaan. Ada yang buka warung, buka toko, jual pulsa, jasa laundry, dan lain sebagainya.

Para buruh proyek itu sebenarnya meminta Susan untuk jualan dari pagi agar mereka bisa sarapan dan makan siang di sana. Tetapi itu tidak bisa dipenuhi oleh Susan. Pagi hari Susan harus belanja di pasar. Usai belanja, menyiapkan warung, baru sorenya buka. Pelanggan paling ramai justru pada malam hari. Lagi pula ia punya anak yang ia asuh sendiri. Anak-anak itu butuh pendidikan. Ia ingin anaknya pandai, sekolah yang tinggi agar hidupnya enak. Ia ingin anaknya jadi anak yang baik, tidak nakal, tidak urakan, juga tidak suka jowal-jawil seperti pelanggannya. Dua anak Susan ini semuanya masih SD yang pertama laki-laki kelas 5 dan yang kedua perempuan kelas satu. Suami Susan mati lima tahun yang lalu karena kecelakan tunggal. Pada malam hari pada kondisi mabuk berkendara kencang dan menabrak tiang listrik.

Orang bilang hidup itu pilihan, tetapi bagi Susan hidup itu tidak ada pilihan. Ia menjalani saja hidup yang ada di hadapannya. Dari uang tabungan ia mendirikan warung kopi karena hanya itu lah kemampuan yang ia bisa. Dulu dia bekerja di pabrik tetapi dia harus juga merawat anaknya. Di pabrik, jam kerjanya panjang ada  tiga sift, kadang sift pagi, siang, atau malam.

Susan pandai merawat diri. Ia bisa memilih make up yang pas sehingga penampilannya tidak begitu glamor tetapi juga tidak begitu kusut. Meski warungnya berlantai kayu dan berdinding kayu tetapi ia memastikan selalu dalam keadaan bersih. Rambutnya yang lurus juga selalu dalam keadaan tertata. Aroma wangi juga selalu tercium dari tubuhnya. Selain rasa kopi susu yang spesial, ini alasan lain warungnya selalu ramai.

Pakaian yang dikenakan oleh Susan relatif biasa saja. Biasanya ia mengenakan atasan kaos dan bawahan celana legging atau jeans. Susan sadar bahwa ia harus mampu membawa diri sebaik-baiknya. Tubuh yang ia miliki ini bisa menjadi asset tetapi juga bisa menjadi petaka. Ia berpikir bukan untuk senangnya sendiri tetapi juga untuk kesenangan anaknya untuk keberlangsungan hidup yang masih jauh. Hal ini juga yang menjadi pertimbangannya dalam memilih calon pasangan. Tadinya ia pikir Rusli cocok, anak-anak bisa bermain dengannya. Tetapi entah alasan apa akhir-akhir ini Rusli banyak maunya.

Ada lagi laki-laki yang sedang mendekati Susan. Namanya Danang, ia seorang polisi. Sudah beberapa hari ini Danang berkirim pesan melalui WA kepada Susan. Beberapa kali Danang berkunjung ke warung Susan. Susan tidak begitu menanggapi pesan-pesan dari Danang. Hal itu karena ia masih punya komitmen dengan Rusli. Namun ketika hubungannya dengan Rusli kian memburuk maka ia sedikit demi sedikit mulai melakukan penjajakan dengan Danang. Ia mulai menjawab pesan-pesan dari Danang. “Maaf Bang, meskipun sedang memburuk, tetapi aku belum putus sama Mas Rusli.”

“Ya segera putusin saja. Nanti kalau dia berani apa-apa bilang sama saya.” Begitu kata Danang.

Sore hari sebagaimana biasa Susan menyiapkan warungnya. Kali ini ia telah memotong rambutnya. Suara sepeda motor berhenti di depan warung. Rusli senyum-senyum melihat rambut Susan. “Lho rambutmu sudah kamu potong?”

“Iya, itu tandanya hubungan kita sudah aku potong.”

“Maksudmu?”

“Ya kita sudah tidak lagi ada hubungan. Kamu rewel, banyak mau, suka ngatur, dan cemburuan. Aku tidak suka.”

“Ini pasti ada kaitannya dengan polisi Danang. Jangan dikira aku tidak mendengar kabarnya.”

“Sudah, bukan urusanmu.”

Rupanya dari jauh Danang memperhatikan pertengkaran itu. Ia duduk di atas sepeda motornya. Melihat Danang, Rusli menjadi gusar kemudian pergi. Ia geber sepeda motornya kencang sekali.

 

***

Pada malam akhir pekan Danang mengajak Susan jalan-jalan. Di dalam mobil itu terjadi percakapan selayaknya sepasang kekasih baru. “San, Susanti. Besok-besok kamu jangan pakai baju yang memperlihatkan lengan ya. Oh ya, kurangi main facebook dan instagramnya.” Kalimat terakhir dari Danang ini membuat dahi Susan berkerut.

 

Demak, 01 Juni 2021

Muhajir Arrosyid – mengajar di PBSI FPBS Universitas PGRI Semarang. Buku kumpulan cerpen terakhirnya berjudul Menggambar bulan dalam gendongan.

 

Cerpen di Muat di Radar Mojokerto edisi 12 Juni 2021

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 143

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.