Cerita Pertama: Demi Apa

Sehari menjelang lebaran, Ibu dibantu oleh Mbak Siti memotong-motong ayam yang akan diolah menjadi opor. Lontong, ketupat, lepet, siap di masak. Aroma sambal goreng menjadikan perut kian meronta. Aini melihat jam, masih lama waktu berbuka. Masih pukul 11.00. WIB. Puasa hari ini belum genap separo. Aini menderita maag dari kemarin. Perutnya perih, tidak bisa buang air. Ia terlewat sahur.

Adiknya, Aidin sibuk sendiri dengan kertas-kertas dan kembang apinya. Kertas itu ia bentuk menjadi selongsong yang nanti akan dibuat untuk petasan. Nanti malam setelah isya, ia akan bunyikan itu di lapangan.

“Mandi Din, jangan petasan melulu yang diurus. Selesai salat berjamaah zuhur kita akan lanjut ke makam berziarah.” Memang sehari sebelum lebaran mereka sekeluarga berziarah ke makam saudara yang telah meninggal. Ke makam Mbah Buyut, Nenek, dan kakak pertama kami yang telah meninggal. Di makam itu biasanya kami mengirim doa dan menabur bunga.

Besok hari lebaran. Suasana akan berubah drastis. Saat puasa suasana ramai. Selalu terdengar sesuatu dari pengeras suara masjid. Dari pengajian selesai subuh, pengajian setelah zuhur, tadarus, tarawih, membangunkan sahur, imsak. Suasana seperti itu besok tidak akan ada lagi. Lebaran adalah puncak. Ibu telah menyiapkan baju seragam sekeluarga bahkan sebelum puasa dimulai. Rumah dicat ulang, ruang tamu ditata, hidangan disiapkan.

Yang menjadi pertanyaan Aini adalah, demi apakah semua itu dilakukan? Bagi Aini segala sesuatu dilakukan harus ada alasannya. Demi apa petasan dibuat? Demi apa ke kubur, demi apa masak opor dan ketupat, demi apa baju baru, rumah dicat ulang, demi apa pula momen lebaran itu difoto kemudian diunggah di media sosial?

Pertanyaan itu ia ajukan kepada adiknya dan teman-temannya. “Demi apasih kalian membunyikan petasan dan kembang api di malam lebaran?”

“Kan ini sudah tradisi Mbak? Ini sudah ada sejak dulu sebelum kita lahir. Tradisi itu harus diuri-uri. Lagian mengapa sih segala sesuatu harus ada alasannya? Boleh apa tidak jika alasannya menyenangkan?”

Di bawah pohon bambu Aidin bersama dengan dua karibnya, Nurbuat dan Saliman. Di tempat lain di kampung tersebut orang-orang secara berkelompok melakukan hal yang sama, membuat selongsong petasan. Matahari terik tetapi angin semilir. Daun-daun bambu bersorak diterpa angin. Di tempat itu ada kertas, lem, gunting, penggaris, dan tanah lempung. Aini mencoba membuka-buka, kertas yang tertumpuk itu. Ternyata kertas bekas skripsi, kertas sisa lembar hasil ujian, Nurbuat memotong-motong keras itu menggunakan gunting, Aidin membuat selongsong dengan cara menggulung kertas di atas cetakan yang terbuat dari pipa paralon. Setelah cukup tebal kertas itu dilem. Saliman menutup selongsong itu menggunakan tanah liat. Setelahnya selongsong itu akan diisi bahan peledak. Saliman juga bertugas memberi sumbu petasan tersebut. Jika sudah begitu artinya petasan sudah jadi dan siap dinyalakan nanti malam.

Alasan kesenangan dan tradisi. Jika manusia hanya menuruti kesenangan belaka, apa bedanya ia dengan makhluk tidak berakal. Percuma dong Tuhan menaruh akal di kepala manusia jika tidak digunakan. Yang kedua adalah demi tradisi. Apa sih tradisi itu? Apakah sesuatu yang sudah menyatu dengan masyarakat dan sudah terjadi sejak dulu kala? Apakah tradisi tidak boleh dipertanyakan hakikatnya? Ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan agama berkembang karena orang selalu mempertanyakan tradisi. Apakah membajak sawah menggunakan kerbau efisien? Kemudian muncul traktor. Aini menduga, substansi petasan, kembang api, lampu warna-warni adalah kegembiraan. Suasana Idul Fitri adalah suasana kemenangan. Hari raya saat yang tepat untuk membagi kebahagiaan. Orang mengira kebahagiaan itu sama dengan kebahagiaan yang lain, sebagaimana orang merayakan Tahun baru.

“Padahal kesenangan lebaran harusnya beda. Orang berlebaran adalah perayaan karena dirinya syukur karena pada Ramadan kemarin telah melaksanakan puasa sebaik mungkin. Menahan mata, telinga, mulut dari hal-hal buruk. Kesenangan itu dilalui dengan Takbir karena Allah besar, kita kecil. Jadi tidak asal senang dalam merayakan. Kedua alasannya tradisi. Jika alasannya tradisi tanpa meninjau tradisi itu baik apa buruk, layak diubah apa tidak, maka Nabi juga tidak akan berubah karena orang jahiliah menyembah berhala juga tradisi.”

Aidin dan dua temannya tetap bekerja. Ia abai dengan apa yang disampaikan oleh kakaknya. Tangannya terampil menggulung kertas, dan mengunci menggunakan lem pada ujung-ujungnya. Ia tidak ingin kehilangan waktu nanti malam pesta petasan itu akan dimulai.  Orang-orang beradu daya ledak petasan yang mereka buat.

Aini beranjak menuju dapur. Ibunya dibantu Mbak Siti memotong-motong bumbu. Air dalam tungku mendidih. Suaranya gemuruh bagai langit mau hujan. Aini duduk di sana. Ia bertanya kepada Ibunya, “Bu demi apa sih Buk lebaran kok masak opor ayam?”

“Mau buat onta goreng ya susah carinya. Ya buat opor ayam saja, ayam gampang carinya.”

“Ibu bercanda deh. Mengapa lebaran harus disambut sedemikian rupa, masak, rumah dicat, ada kue kering, jenang, di taruh di meja tamu?”

“Aini, Ibu sibuk. Ibu harus masak dan tidak bisa melayanimu mengobrol.” Jawab ibunya yang pada saat itu berdaster. Keringat berbintik pada dahi dan hidungnya. Masakan itu harus sudah siap sebelum magrib. Tidak hanya dimakan sendiri tetapi juga dikirim ke sanak saudara dan para tetangga. Keluarga itu memotong empat ekor ayam kampung jantan.

Aini melihat Bapaknya santai di teras rumah. Tugas Bapak bersih-bersih rumah, dan itu sudah selesai. Lantai sudah licin, rumah-rumah serangga di sudut-sudut ruang juga sudah bersih. Aini duduk di samping Bapaknya? “Pak demi apa sih ini semua? Baju baru, cat baru, semua harus baru. Mengapa baru harus saat lebaran? Kan bisa mengecat dan membersihkan rumah lain waktu?” ujar Aini.

Aidin lewat sambil bilang, “Demi apa lagi-demi apa lagi. Hu hu hu.”

“Heh jangan ikut-ikut.” Aini melempar sandal. Aidin lari.

Bapak dan Aini duduk di teras rumah. Dari masjid tetabuhan terdengar. Orang menyebut ini megengan, tanda jika besok lebaran. Aroma masakan dikirim dari dapur-dapur. Udara gerah siang itu.

“Pertama lebaran itu hari raya. Boleh dong dirayakan asal tidak berlebihan dan melanggar hakikat awalnya. Kedua, lebaran itu kembali Fitri, kembali bersih karena puasa dengan segala amalannya mengembalikan manusia menjadi bersih kembali. Allah telah mengampuni. Namun, dosa kepada sesama manusia tetap harus dilebur dengan cara silaturahmi, diikrarkan permintaan maaf tersebut. Semangat baru ini lah yang juga muncul pada baju, sandal, peci, dan lain-lain. Masakan itu dikirim ke sanak saudara dan tetangga, besok setelah salat eid, makanan itu dikirim ke masjid, dimakan oleh tetangga kita. Hidangan Idul Fitri untuk menyambut kerabat yang nanti berkunjung. Itu bentuk rasa syukur bertetangga, ini juga saat untuk meleburkan dosa Adami. Ikrar saling memaafkan disampaikan.”

Aini pindah ke rumah kakeknya. Rumah kakeknya bersebelahan dengan rumah Aini. Saat Aini hendak bertanya kepada kakeknya perihal demi apa atas ini itu seputar lebaran, kakak Aini sedang membaca buku. Kakek Aini meletakkan buku pada sebuah rak di rumah tamu demi menyambut kedatangan cucunya yang banyak tanya ini. Cucu yang baru kelas dua SMA.

“Aini, sebenarnya puasa ini semacam worksop, sebuah waktu yang didesain agar manusia membiasakan diri beribadah di luar waktu puasa. Sebuah puasa itu berhasil mana kala ibadah dalam puasa ia lakukan juga di bulan lain. Lebaran bukan berarti usai semua amalan.” Begitu jawab Kakek Aini saat ia bertanya, demi apakah lebaran.

Lagi-lagi Aidin menggoda. Ia lewat dan bilang, “Demi apa lagi ya? Bosen ah.”

“Apa kamu ikut-ikut?” Aini berdiri membentak.

“Iya kamu menjengkelkan, demi apa melulu. Kan jelas lebaran itu hari raya, ya sudah dirayakan dengan senang-senang.”

“Sini Aidin, duduk di samping Kakek.” Panggil kakek mereka. Aini dan Aidin duduk di hadapan kakek mereka.

“Mengetahui tentang maksud yang kita lakukan itu harus agar kita tidak terjerumus. Demi apa itu merunut tujuan yang kita lakukan. Nanti lanjutannya adalah demi siapa.”

Aidin duduk tidak nyaman.  Kaki kirinya bergerak-gerak terus. Sementara matanya melihat cicak mengejar nyamuk. Sementara itu wajah Aini sumringah, tangannya terkepal, senyumnya merekah. Aini mengajukan pertanyaan. “Kek, demi apakah orang ke makam sehari sebelum lebaran dan menabur bunga di atas pusara?”

Jawab Kakek, “Bergantung niatnya, ada yang niatnya mendoakan orangtua yang telah meninggal sebagai wujud rasa hormat dan cinta ada juga yang mencari berkah dan meminta kepada yang dikubur, yang terakhir ini tidak boleh karena kita hanya boleh meminta kepada Allah. Bahkan terhadap hal-hal yang sudah terlihat baik misal salat juga bergantung niatnya.”

Kakek melanjutkan. “Kakek mau cerita, ada seorang lelaki pada malam yang hujan pergi ke masjid. Ia melaksanakan salat malam, mula-mula hanya demi Allah semata. Di tengah ibadahnya ia mendengar sesuatu yang dia kira manusia. Lalu salatnya tambah khusuk. Pagi harinya ia baru tahu ternyata yang di belakangnya adalah seekor anjing. Ia malu karena semalaman ia salat demi anjing.”

“Berarti demi apa setiap orang itu berbeda-beda dalam satu tindakan yang sama Kek?” tanya Aini.

“Tepat sekali. Karena maksud itu ada di hati. Dan hari tidak terlihat. Maka agar maksud itu tidak geser-geser maka maksud atau niat itu harus diikrarkan di awal perbuatan. Karena sebuah amal itu bernilai bergantung niatnya. Dulu ketika Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah diikuti oleh para sahabat dengan niat yang berbeda-beda. Ada yang hijrah karena Allah, ada pula yang demi harta dan wanita. Mereka akan mendapatkan sesuai niatnya, kata Nabi.”

“Bisa apa tidak Kek, misal menyatakan niatnya begini tetapi padahal begitu.”

“Allah tidak bisa dibohongi. Dia mampu membaca pada suara hati kecilmu.”

Dari dalam rumah, Ibu memanggil. “Aini antar rantang ke rumah Pak De. Aidin, lekas mandi siap-siap ziarah ke kubur.”

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 143

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.