Mbah Nun bercerita tentang tambang terkait anak cucu. Orang-orang itu mengeksploitasi tambang tanpa memikirkan bagian untuk anak cucunya. Mereka berpikir tambang tidak akan habis. “Sebenarnya Indonesia itu kok sepertinya lebih bagus tidak punya tambang. Alam yang subur cukup menghidupi rakyatnya. Adanya tambang mengakibatkan perampokan oleh pihak luar dan dari dalam sendiri.”
Lalu Pak Sutanto Mendut menjelaskan tentang Alam, Insan, dan Zaman. Ketiga hal inilah yang selalu digarap oleh Pak Tatnto bersama teman-temannya dalam Festival Lima Gunung. Tentang Alam, Pak Tanto menjelaskan bahwa kita semua tahu bahwa Allah telah menganugerahi kita alam yang kaya raya. Tentang insan sebenarnya kita juga punya leluhur yang luar biasa. Insan adalah budayanya, kreativitasnya. Kita punya Borobudur yang dibuat pastinya oleh manusia-manusia kreatif, di sini ada Ratu Sima, ada dalang yang telinganya tidak mendengar. Banyak tokoh-tokoh lahir di sini (Mungkit-Magelang). Itulah tambang yang sesungguhnya . “Lihat Negara Singapore, Malaysia dan Negara-negera lain yang kecil tetapi mereka sejahtera karena tambang insannya tergali dengan baik.”
Mbah Nun melanjutkan bahwa tambang kita adalah kesadaran sejarah. Jika kita maju satu langkah maka kita harus mundur satu langkah. Leluhur kita memiliki kesadaran sejarah yang tinggi. Kita merunut leluhur hingga delapan belas ke belakang mulai dari simbah, buyut, udek-udek siwur, terus hingga delapan belas. Salah satu kesadaran sejarah itu adalah Ratu Sima, simbul pemimpin yang adil.
Ratu Sima itu adalah simbul dari penegakkan hukum, adiknaya sendiri dia hukum penggal gara-gara menghina tamunya. Tentang Ratu Sima Mbah Nun mengaitkannya dengan maraknya aktivisme keadilan gender. Jangan sok ngajari kita tentang keadilan gender, Ratu Sima itu perempuan, menjadi ratu di sini sejak dulu. Tentang laki-laki dan perempuan tidak usah disama-samakan karena tidak mungkin bisa sama. Mereka punya kelebihan masing-masing, dua-duanya ampuh dan saling membutuhkan. Tetapi kalau mencari yang lebih ditakdimi ya perempuan laki-laki mengalah. Yang di belakang perempuan karena yang di belakang itu yang angon. “Dadi konco wingking niku sae sebab njenengan sing njogo. Nak ting pasar ngetutuke anak-anak, sing njogo niku ting mburi. Perempuan itu menjaga Negara, menjaga masyarakat, dan menjaga kaum laki-laki” tutur Mbah Nun.