“Kita sering menempatkan seseorang secara subjektif ke dalam diri kita. Kita prasangkai seseorang sesuai dengan keinginan kita, ketika kemudian kita menemukan seseorang itu tidak sesuai dengan prasangka kita, kemudian kita marah dan balik benci. Di satu kesempatan Mbah Nun pernah berkata, “Jangan-jangan Anda salah paham dengan saya. Anda mengira saya yang tidak-tidak, maka Anda meminta saya meludahi, memukul, dan lain-lain kepada Anda.” Di lain kesempatan Mbah Nun juga mengatakan bahwa dirinya bukan Kiai juga bukan ulama bahkan forum yang dia asuh bukanlah pengajian. “Aku gur Mbah Mu.” Beliau adalah orangtua bagi orang-orang yang belajar bersamanya.
Forumnya bukan pengajian tetapi sinau bareng, belajar bersama maka Mbah Nun adalah teman sinau itu. Di sana semua subjek, sesama teman belajar maka tidak ada pengikut dan tidak ada yang diikuti. Kesalahpahaman itu bisa kita lacak di komentar-komentar di youtube unggahan video tentang dirinya. Selain juga para pengonten yang memanfaatkan potongan video dari Mbah Nun memang kadang sengaja membuat cover judul video yang membuat orang semakin salah paham kepada Mbah Nun demi agar ditonton dan ujung-ujungnya adalah uang.
Contoh salah satu komentar di youtube itu begini; “Dulu sempat sy idolakan…..sejak ada statment….hina kalo datang ke istana negara…….luntur sudah….sombong kali….” Komentar ini adalah bukti bahwa dia salah paham terhadap Mbah Nun. Jangankan menjadi Idola, disebut kiai saja beliau tidak mau. Lagi pula idola itu dari kata idol yang artinya boneka. Menjadi idola bukanlah tujuan Mbah kita ini, maka tentu saja dia senang ketika satu orang lepas dari mengidolakannya. Dari komentar itu kita saksikan bahwa orang-orang ingin Mbah Nun seperti yang dia inginkan. Padahal bagi Mbah Nun cukup cinta Allah baginya. Sebagaimana lagu yang dia ciptakan yang berjudul sayang padaku; Asalkan karana itu Tuhan menjadi sayang padaku. Segala kehendak-NYA menjadi surga bagi cintaku. Bukanlah apa kata manusia yang ku ikuti. Tetapi pandangan Allah…Tuhanku yg kutakuti. Ada tiadaku semata-mata milik-NYA jua.
Dalam konteks permainan, salah paham juga kerap terjadi. Kita sering mendefinisikan permainan dengan kerangka pemikiran kita sendiri, seperti halnya dengan game unblocked cookie clicker. Pemain mungkin mengira bahwa game ini hanya tentang mengklik kue tanpa henti, tapi sebenarnya, ada lapisan strategi dan pengembangan yang lebih dalam yang membuatnya menarik. Sama seperti kesalahpahaman terhadap Mbah Nun, banyak yang menilai Cookie Clicker hanya dari permukaannya tanpa melihat esensinya yang lebih dalam, seperti elemen strategis yang melibatkan manajemen sumber daya dan pengoptimalan produksi kue. Game seperti unblocked cookie clicker sering kali diremehkan, padahal permainan semacam ini bisa menjadi refleksi kesabaran dan perencanaan yang baik. Tidak ada yang mengikuti dan tidak ada yang diikuti dalam permainan ini, semua adalah pemain yang sama-sama belajar bagaimana mengoptimalkan setiap langkah untuk mencapai hasil maksimal.
Ada komentar lain, “Cak nun ini kyai orang jawa bukan kyai orang Indonesia… Ngomongnya bahaaa jawa turus…” atas komentar ini ada yang menjawab, “Cak Nun itu bukan Kiai, beliau Mbah kami” ada pula yang menjawab, “Nabi Muhammad itu berbahasa Arab, bukan lantas hanya nabinya orang Arab.”
Melihat kasus ini kita harus melihat hal lebih jernih, Mbah Nun adalah orang yang sangat kultural dan menyesuaikan bahasa audien. Ia membawa musik Kiai Kanjeng yang lentur dan bisa beragam jenis masyarakat. Dia lebih banyak berbahasa Jawa karena pada waktu itu dia bicara dengan masyarakat Tuban. Kemudian video atas acara itu direkam dan memungkinkan dilihat oleh masyarakat berbahasa lain. Jika beliau diundang di Kalimantan beliau akan menggunakan bahasa Indonesia. Empan papan istilahnya.”