Cerita Agustus

Aku menulis ini pada pagi hari di hari Kamis tanggal 23 Agustus 2023. Di hadapanku ada teh pahit hangat dan sebotol air meneral. Di depan terdapat tanaman hias yang aku pelihara yang jumlahnya kini tinggal beberapa saja. Di sampingku terparkir ArumBait, si mobil kecil dua baris yang muat pas untuk keluargaku.

Cerita apa hari ini? Hari-hari ini aku menghadapi kesibukan sebagai dosen mempersiapkan kulaih semester baru. Aku juga sibuk menilai karena sudah ada batas akhir penilaian untuk PPG Prajabatan. Keliling sekolah PPG Prajabatan sudah aku laksanakan pekan-pekan lalu. Sebagai mahasiswa doktoral aku sibuk meneliti dan menulis disertasinya.

Kesibukan-kesibukan itu rawan bagiku untuk mengeluhkannya, karena harus bagi waktu sedemikian rupa. Tetapi betapa malunya aku ketika mau mengeluh karena banyak yang lebih payah dariku. Maka, aku berusaha mengubah keluhan menjadi kata-kata Alhamdulillah. “Sekarang sebuk ya pak Hajir?’ ketika ada orang bilang begitu maka aku balas, “Alhamdulillah”. Kata-kata sibuk ini rawan sekali menjadi keluhan karena dapat dijawab seperti ini, “Iya sibuk sekali sehingga aku pusing dan badanku sering sakit-sakitan.”

Cerita apa kita hari ini? Aku ingin cerita tentang kenangan masa kecil di bulan Agustus. Orang semakin bertambah usia maka dia memiliki kekayaan. Kekayaan itu adalah kenangan dan pengalaman. Maka pada waktu muda alangkah eloknya jika kita berani mengalaminya agar menjadi kekayaan di waktu tua.

Gegap gempita menyambut acara tujuh belasan terjadi di kampungku saat kecil. Agustus biasanya musim tembakau. Di sela tembakau biasanya petani menanam semangka biji dan ketimun. Pada musim kemarau begini biasanya pohon-pohon meh (seperti trembesi) berbuah mindik. Buah mindik yang kering ini berjatuhan. Di tempatku pohon ini cukup banyak dan besar-besar. Kami, anak-anak memunguti buah-buah mindik kering ini. Kami mengeringkannya dan mengambil bijinya. Nantinya biji-biji mindik ini di goreng tanpa minyak menggunakan alat dari gerabah. Biji mindik goreng ini nantinya dibawa sebagai bekal kalau datang memperingati acara upacara tujuh belas Agustus di lapangan kecamatan.

Pagi hari pada hari tujuh belas Agustus anak-anak berangkat ke sekolah. Agenda di sekolah hanyalah upacara bendera singkat saja. Pada pukul delapan anak-anak sudah dipulangkan. Sebagian anak sebagai perwakilan dan ikut upacara di lapangan kecamatan yang jaraknya cukup jauh. Sebagian yang lain di rumah saja dan ada pula yang ikut datang menonton upacara. Aku termasuk yang terakhir kali ini. Aku dengan beberapa teman jalan kaki melewati jalan sawah yang ditumbuhi tembakau menuju lapangan kecamatan untuk melihat prosesi upacara kemerdekaan. Ada sedikit uang saku dari orangtua biasanya untuk beli semangka dan pepaya potong, minuman, atau mainan bola dari karet. Kami duduk di bawah pohon menyaksikan orang upacara, pengibar bendera, orang pingsan karena kepanasan, dan sebagainya.

Usai upacara biasanya kami masuk pasar kecamatan, namanya pasar Berambang karena terletak di desa Berambang. Siang hari sekira pukul satu kami baru pulang melewati sawah-sawah lagi. Jalur sawah ini kami pilih karena lebih dekat untuk pejalan kaki. Pada hari itu jika sempat kami juga menonton film yang diputar setiap tanggal tujuh belas Agustus. Filem itu berjudul janur kuning.

Beberapa hari setelah itu diadakan karnafal. Setiap sekolah dan desa mengirim perwakilan sebagai peserta. Pada saat itu aku ingin segera besar agar bisa ikut sebagai peserta karnafal. Aku biasanya menonton bersama Bapak dan Adik. Ketika sudah agak besar aku menonton bersama teman sebaya. Begini cerita hari ini. Besok kita berbagi cerita lagi ya?

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 141

2 tanggapan pada “Cerita Agustus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.