Jeda Sholat

Bib Ja’far Haidar punya podcast bernama ‘Jeda Nulis’, itu artinya hari-harinya dihabiskan untuk menulis. Menulis adalah yang utama dan di sela menulis itu diselingi obrolan yang dikemas menjadi ‘Podcast’ itu. Lalu kalau saya? Saya menulis di waktu jeda. Seperti sekarang ini, saya menulis ini di saat menunggu waktu bimbingan kepada Prof. Sumarwati. Itu pun masih di sela menjawab WA.

Ada yang bilang bahwa segala kegiatan itu hanyalah mengisi waktu luang antara sholat dengan sholat. Terdengar keren ya? Tapi saya membantah ungkapan itu. Segala waktu itu penting. Menurut Mbah Nun, Tuhan itu mengurusi bahkan setitik embun yang jatuh pada daun, apa lagi waktu. Asalkan kita tidak lepas dari Allah maka kita selalu berzikir.

Pada waktu jeda ini saya mau cerita. Beberapa hari yang lalu saya dimintai tulisan oleh Mas Aan, penggiat Maiyah Semak Kudus. Sedulur Maiyah Kudus, simpul Maiyah yang ada di Kudus membuat Bulletin. Benar membuat bulletin. Agak aneh terdengar pada masa seperti ini mencetak bulletin. Mahasiswa saya, saya tanya kapan terakhir mereka membuka koran, mereka ada yang menjawab sepuluh tahun yang lalu. Itu artinya koran sudah tidak eksis pada manusia hari ini. Kok ini buat bulletin. Sama halnya dengan koran dan bulletin, penulis juga adalah manusia purba. Sekarang ini daya ungkap manusia lebih menggunakan audio visual. Mereka mengoptimalkan kemampuan oralnya untuk mengungkapkan pesannya. Hal ini seiring dengan cara manusia mendapatkan pengetahuan yang lebih pada mendengar dan melihat. Jadi, saya yang masih menulis ini adalah manusia purba juga orang yang masih membaca blog saja juga manusia purba. Media online yang banyak dikunjungi adalah youtube, instagram, tiktok yang disana lebih banyak menampilkan gambar.

Saya mengirim tulisan berjudul “Kere Munggah Bale dan Dendam Kemiskinan”. Pada tulisan yang saya kirim ke Bulletin semak itu saya tutup dengan ungkapan eling lan waspada. Apa yang dimaksud dengan eling dan waspada itu? Mari kita bicarakan. Manusia itu memiliki potensi untuk kelewat batas. Hal tersebut disebabkan berbagai macam hal. Seperti hidup terasa mudah. Harta datang begitu saja, badan selalu sehat, lalu timbul pemikiran manusia bahwa segala yang didapatkan olehnya atas usahanya sendiri. Ia kehilangan daya empati, cara merasakan yang dirasakan orang lain. Bicaranya tidak terkontrol sehingga tidak sadar kata-kata yang keluar dari mulutnya menyakiti orang lain. Sanjungan, tepuk tangan oleh orang-orang disekitar kita juga dapat membuat manusia kelewat pada batasnya. Maka manusia harus selalu waspada, tidak hanya waspada pada puja-puji orang-orang sekeliling tetapi juga waspada terhadap pemikiran diri sendiri. Eling adalah ingat bahwa kita adalah makhluk Allah. Sedangkan waspada adalah kita harus sadar atas kemungkinan-kemungkinan yang menyesatkan. Itulah kenapa kadang-kadang kita bersyukur atas kegagalan karena pada saat itu membuat kita selalu kembali, selalu mengingat, selalu merenung agar kita tidak kebablasan.

Sudah pukul 11 lewat. Saya segera pesan grab untuk mengantar ke Masjid UNS. Nanti usai jumatan saya janjian sama Prof. Wati untuk bimbingan. Sampai ketemu di obrolan berikutnya.

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 141

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.