Bening, dulu sekitar satu bulan setelah kepergian Mas Ken, Bapak dan Ibu mendaki gunung Merbabu ditemani Om Priyo. Kami ke Salatiga naik angkutan. Kami sampai Kopeng malam, waktu itu sedang purnama. Turun dari angkutan, kami berjalan menyusuri jalan setapak. Kanan dan kiri rumput dan pohon-pohon pinus, gelap hanya satu penerangan dari senter yang kami bawa. Suara serangga menyapa perjalanan kami. Aroma tanah hutan bercampur aroma bunga-bunga menguar di hidung kami. Kami melewati kuburan, sawah yang tertanami tembakau, baru kemudian masuk kampung yang pintu-pintu rumahnya sudah tutup. Di kmpung Tekelan inilah beskem pendakian berada. Tidak seperti pendakian dihari-hari besar yang berjubel, pendakian kali ini sepi sekali. Hanya ada satu kelompok lagi dari pekalongan yang serta mendaki.
Pendakian yang kami lakukan hanya sampai pos dua. Mulanya hanya mau tidur sejenak baru kemudian melanjutkan pendakian, eh ternyata sampai matahari terbit baru bangun. Kami tidak melanjutkan naik, tetapi malah turun lagi dan pulang. Sampai rumah kami cek ke dokter ternyata Ibumu sudah hamil selama dua minggu. Itu ibumu mengandungmu.
Kapan-kapan bapak cerita lagi saat kamu di kandungan dan saat kamu masih kecil. Sekarang Bapak mau bicara. Akhir-akhir ini kamu susah bangun. Jika dibangunkan marah padahal sudah pukul 06. Lazimnya bangun tidur itu subuh, ikut salat subuh di masjid lebih baik. Bapak hanya mau bicara tentang menghargai waktu. Ada banyak sekali orang yang terpaksa bangun lebih pagi untuk berangkat kerja, berjualan di pasar, mencari uang. Jadi bangun pagi adalah mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita. Besok bangun sendiri ya? Tidak perlu dibangunkan?
