Rakus, ambisius, raja tega, klenik demikianlah citra politikus kita yang menyebabkan mereka menjadi tokoh antagonis dalam cerpen-cerpen Indonesia.
Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) baru saja usai. Hiruk pikuk pemilu tersebut juga terpercik dalam Cerita Pendek (Cerpen) yang dimuat di berbagai harian edisi Minggu. Beberapa cerpen yang dimuat di koran edisi minggu tersebut menampilkan tokoh tokoh politikus seperti tokoh Pram sebagai kader partai politik dalam Cerpen ‘Perempuan yang Kehilangan Teras’ karya Jimat Kalimasadha (Suara Merdeka, 10 Agustus 2014). Ada juga yang hadir sebagai gubernur seperti Pak Klamis dalam cerpen ‘Rajah Nurbuat’ karya Tiyasa Adfian (Suara Merdeka, 20 Juli 2014).
Agus Khadir dalam cerpennya yang berjudul ‘Ziarah Kubur’ (Media Indonesia, 27 Juli 2014) menampilkan Rahmat Yanis sang calon presiden. Putu Wijaya dalam cerpennya berjudul ‘Presiden’ (Jawa Pos 29 Juni 2014) memberi sudut pandang lain, pandangan masyarakat tentang presiden, alasan mengapa orang ingin menjadi presiden.
Tulisan ini hendak menelisik citra politikus dalam cerpen Indonesia yang terbit pada tahun politik-2014 ini. Pertama, politikus adalah pragmatis. Sering kita dengar dalam dunia politik bahwa tidak ada teman abadi atau musuh abadi yang ada hanya kepentingan yang abadi. Tadi pagi bisa saja berteman mesra bercanda ria, secara tiba-tiba bermusuhan pada sore harinya. Setidaknya itulah gambaran sosok politikus dalam diri Pram dalam Cerpen ‘Perempuan yang Kehilangan Teras’ karya Jimat Kalimasadha. Baca saja penggalan kalimat seorang Bu Lik yang mengasuh Pram sedari kecil. “Begitu mudahnya Pram meninggalkan sejarah hidupnya. Sementara bau anyir dan aroma busuk penyakit orang tuanya…….” Kalimat tersebut juga menegaskan bahwa seorang politikus seperti terungkap dalam cerpen ini adalah ‘raja tega’ bahkan kepada orang-orang yang berjasa kepada dirinya.
Kedua, cerpen berjudul ‘Rajah Nurbuat’ karya Tiyasa Adfian menunjukkan hal lain tentang profil politikus Indonesia. Cerpen ini memberitahu kepada kita bahwa masyarakat kita termasuk politikusnya sangat percaya dengan hal-hal klenik. Kita tentu tidak lupa dengan berita-berita yang beredar saat Pileg kemarin, salah satunya beredar berita seorang calon legislatif melakukan ritual kungkum di sungai agar terpilih menjadi anggota dewan. Pada pengajuan gugatan Pilpres di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu yang lalu juga ada sepasang dukun melakukan ritual.
Politik tidak diraih dengan cara-cara rasional. Hal ini menandakan bahwa politikus kita masih menganggap sebuah jabatan bukanlah semata tanggung jawab akan tetapi wahyu yang harus ditebus dengan berbagai syarat. Dalam cerpen “Rajah Nurbuat’ syarat tersebut adalah kain kafan mayat perempuan perawan. Pak Klimas, seorang gubernur yang mencalonkan lagi berpendapat bahwa, dalam politik, yang magis itu kayak sambal. Selalu penting kehadirannya. Bahkan saat diingatkan oleh bawahannya untuk menggunakan cara rasional dengan lebih gencar turun ke lapangan menemui pemilih, ia tidak menggubrisnya.
Jimat merupakan piandel yang membuat siapa yang mempercayainya menjadi lebih percaya diri. Setidaknya hal tersebut terungkap dalam penggalan paragraf berikut ini: ‘Pak Klimas tersenyum gembira, ketika kuserahkan kafan perawan untuk membungkus rajah nurbuat. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin Pak Klimas membayangkan kemenangannya sudah sedemikian dekat. Kemenangan di pemilu untuk kedua kalinya akan digenggam.’
Ketiga, seorang politikus adalah ambisius. Setidaknya itu tergambar dari sosok Rahmat Zanis’ dalam cerpen ‘Ziarah Lebaran’ karya T. Agus Khaidir. Ambisi yang besar inilah yang mendorong seorang politikus berperilaku memaksakan kehendak, curang, dan menghalalkan segala cara. Paragraf dari cerpen berikut ini memberi gambaran besarnya ambisi sang politikus: ‘Maka tidak ada jalan lain, popularitas figur baru ini harus segera diruntuhkan. Caranya? Jujur saja, pada mulanya aku tidak tahu. Aku tidak memiliki kecakapan untuk perkara semacam ini. Aku paham bagaimana cara memenangkan perang. Tapi politik membutuhkan amunisi yang lebih tajam dari peluru, lebih dahsyat dari sekedar granat. Strategi tempur terlalu lugu untuk dibawa ke medan politik…..’
Apakah demikian buruknya politikus sebenarnya? Tentu saja tidak. Masih banyak politikus yang baik. Citra tersebut terbentuk karena banyak politikus yang berperilaku seperti yang dicitrakan akhir-akhir ini. Tentu saja kita tidak bisa memandang rendah politikus di zaman perjuangan seperti Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Jassin, daan lain-lain.
Tanggung jawab atau uang?
Politik dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, berarti segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dsb) mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain. Dalam kamus tersebut juga memberi arti bahwa politik adalah tipu muslihat, kelicikan akal (daya upaya). (W.J.S. Poerwadarminta, 1987) Arti yang kedua lah yang dipraktikan oleh sebagian politikus kita akhir-akhir ini.
Sebenarnya keinginan para politikus untuk meraih kedudukan di DPR, menjadi bupati, gubernur, hingga presiden itu semata-mata ingin memikul tanggung jawab atau ingin menikmati uang, fasilitas yang mengiurkan, dan kehormatan? Cerpen ‘Presiden’ karya Putu Wijaya menunjukkan fakta unik, diceritakan dalam cerpen itu orang sekampung tidak ada yang mau jadi ketua RT karena dianggap repot, banyak kerjanya, dan tidak ada uangnya. Sementara di sisi lain orang berebut ingin menjadi presiden. Setelah mengetahui bahwa menjadi RT ada uangnya ternyata mereka rebutan juga.
Baru-baru ini anggota DPRD dilantik, dikabarkan gaji dan tunjangannya ‘wah’ banget. Gaji dan tunjangan inilah yang membuat ia dicaci dan menjadi tokoh antagonis, namun gaji dan tunjangan inilah yang juga membuat jabatan anggota DPR atau politisi pada umumnya membuat orang rela mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Betapa ambigu nya kita sebagai anak negeri.
Muhajir Arrosyid – Dosen FPBS Universitas PGRI Semarang.