Tombol Darurat Itu telah dibunyikan Mbah Nun bertahun lalu

Cerita apa kita hari ini? Bagaimana kalau kita cerita tentang tukang kayu yang menjelma menjadi raja Jawa? Saat Jokowi menang sebagai gubernur Jakarta saya dalam perjalanan dari Solo ke Semarang. Orang-orang dalam satu mobil yang saya kendarai senang, bangga atas kemenangannya. Ia adalah representasi wong cilik. Ia lahir dari orang kebanyakan. Ia adalah kita.

Saya pun demikian. Saya menjagokan dan mengidolakan orang Solo yang kurus ini. Sebelumnya telah diberitakan segala prestasinya. Ia mampu memindahkan orang-orang dengan jalan dialog. Ia melahirkan mobil nasional yang disebut ESEMKA. Saya ikut senang karena dia dilantik menjadi gubernur Jakarta. Pembawaanya yang sederhana, dia suka blusukan, sungguh mengagumkan. Ia yang tidak suka protokoler sungguh merepresentasikan pemimpin yang bukan seperti pemimpin sebelumnya.

Mbah Nun, saya memanggilnya dan orang-orang mengenal sebagai Cak Nun pernah menulis di sebuah kolom di koran Kompas tentang sosok ndeso ini ketika akan maju ke Jakarta. Saya lupa judul artikel itu. Yang saya ingat adalah masyarakat Indonesia sebenarnya rindu terhadap kedesaan dan kesederhanaan. Dalam tulisan itu saya mengartikan bahwa Mbah Nun mengiklaskan (jika tidak boleh diartikan merestui) tukang kayu ini menjadi gubernur Jakarta.

Namun Mbah Nun berbalik arah ketika si tukang kayu ini mencalonkan diri sebagai presiden padahal dia belum menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur. Saya mengartikan Mbah Nun mulai mencium gelagat tidak enak pada saat itu juga. Orang ini tidak bisa berpuasa. Ia tidak mampu menahan. Setiap ada kesempatan dia ambil dan itu berbahaya.

Si tukang kayu ini kemudian mencalonkan diri sebagai presiden. Saya masih mengaguminya. Saya senang karena bisa memilihnya. Saya mengikuti berita-berita tentangnya. Banyak sekali tokoh ada di belakangnya. Tetapi tidak untuk Mbah Nun, di tengah orang-orang memujinya, di banyak kesempatan, di pangajian-pengajian maiyahan beliau terang-terangan membunyikan alarm bahaya. Atas apa yang dilakukannya, tidak jarang beliau terkena fitnah, hujatan, di media sosial. Dia tidak bergeming.

Saya berada di persimpangan jalan. Di satu sisi saya adalah mengaku sebagai murid beliau, di sisi lain mata saya masih tertutupi oleh kesederhanaan si tukang kayu yang menjelma menjadi raja ini. Alhamdulillah tidak sampai akhir masa jabatan pertama saya mulai memahami dan seiring dengan pendapat-pendapat Mbah Nun. Tabir-tabir mulai tersingkap. Kerakusan yang disembunyikan melalui keluguan itu mulai tampak nyata.

Tetapi tidak banyak yang mampu membacanya. Mbah Nun berhadapan dengan seorang tokoh yang masih menjadi idola. Maka ketika dia mengatakan dan menggumamkan tokoh ini sebagai Firaun banyak sekali orang marah. Mbah Nun menjadi bulan-bulanan. Forumnya di Semarang yaitu Maiyah Gambang Syafaat sampai susah mencari tempat. Masjid Baiturrahman melalui ketua yayasannya tidak membolehkannya, halaman masjid Diponegoro peleburan yang sebelumnya membolehkan juga kali ini tidak mengizinkan. Betapa berat menjadi anak maiyah.

Firaun adalah potensi, seseorang yang kuat dan dia kan merasa dirinya paling kuat. Dia di kelilingi oleh para pembisik yang disebut Hamman, dia dikelilingi oleh hartawan namanya Qorun. Potensi itu dicoba dibunuh dengan cara memberi rambu-rambu tatapi si pemberi aba-aba ini di serang tiada habisnya.

Sekarang menjelang akhir kekuasan Si Raja ini, dimulai dengan mendorong anaknya jadi wali kota, belum selesai jadi wali kota mencalonkan diri sebagai wakil preseden, demikian juga menantunya yang jadi wali kota kemudian calon gubernur, dan anaknya yang paling kecil mau maju dimajukan ke gubernur. Dua anaknya ini sebelumnya tidak memenuhi syarat sebagai kandidat karena umurnya belum cukup maka diubah lah aturan. Masyarakat baru sadar, oh orang yang tadinya terlihat lugu ini ternyata rakus juga. Kesadaran baru muncul ketika dia sudah mencengkram kuat di segala lini. Penegak hukum dikuasai, sebagain besar partai besar dalam genggamannya. Lalu untuk melawannya ditekannya tombol darurat bahaya. Tombol yang sebenarnya sudah dinyalakan oleh Mbah Nun bertahun-tahun sebelumnya. Kamu tahu, Mbah Nun yang membunyikan tombol darurat pada pagi buta itu sekarang sedang bertapa dengan kesunyiannya. Ia dipeluk oleh Allah melalui sakitNya.

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 143

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.