Masa Depan Anak Kampung Perempuan

Tri Umi Sumartyarini

Di mana langkah kaki anak kampung perempuan setelah menamatkan sekolah? Terdapat empat kemungkinan jawaban. Pertama, kemungkinan mereka akan ke pabrik. Kedua, menjadi buruh tani. Ketiga, menjadi pembantu rumah tangga. Keempat menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang dipekerjakan ke luar negeri.

Sedikit dari anak-anak kampung perempuan memiliki kesempatan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Masyarakat kita masih mendahulukan anak laki-laki. Mereka yang berkesempatan melanjutkan studi ke perguruan tinggi hanya anak-anak pegawai mapan. Menurut data the national socio-economic survey tahun 2003 menyebutkan bahwa penduduk perempuan usia 20 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki yaitu 11, 56% berbanding 5,43%.

Keempat profesi tersebut; buruh pabrik, buruh tani, pembantu rumah tangga, dan TKW adalah pekerjaan yang berat dan seringkali menyengsarakan. Tentu saja profesi ini bukanlah keinginan mereka. Mereka terkondisi dengan keadaan yang ada. Jika mereka merantau ke kota, mereka juga hanya menjadi kaum urban yang disingkirkan. Misalnya mendirikan warung di trotoar dan akan ditertibkan oleh petugas pada saatnya. Memang ada dari mereka yang sukses tetapi jumlah itu tak sebanding dengan yang terlantar.

Pekerjaan Resiko Tinggi

Beratnya pekerjaan itu dapat kita tengok melalui nasib buruh pabrik perempuan yang mendapat gaji tidak sesuai dengan pengeluaran kebutuhannya. Belum lagi status lemah sebagai buruh outscorsing. Di samping itu karena sebagian besar waktu dihabiskan di pabrik, mereka tidak dapat memperhatikan keluarganya dengan maksimal.

Nasib buruh tani perempuan tidak kalah sengsara. Menjadi petani bukanlah profesi yang menjanjikan. Pemerintah mengondisikan harga pangan selalu dalam keadaan terjangkau oleh masyarakat. Karena harga pangan yang tinggi akan mengancam stabilitas politik pemerintah. Jika terpaksa harga pangan naik, pemerintah mengambil kebijakan import. Maka, pihak yang dikorbankan adalah petani. Akibatnya, petani selalu berada dalam kondisi miskin. Jika petani miskin, bagaimana dengan nasib buruh tani perempuan?

Perlakuan tak adil pun kerap menghampiri Pekerja Rumah Tangga (PRT) perempuan. Tidak jarang dalam menjalani pekerjaannya mereka menghadapi pelanggaran HAM. Mereka sering kali dipaksa untuk bekerja sejak usia sedini 12 tahun. Mereka rentan menghadapi risiko besar terhadap kekerasan seksual, mengalami eksploitasi ekonomi, serta bekerja dalam kondisi yang buruk dan mengalami diskriminasi berbasis gender.

Nasib serupa tidak jauh beda dengan para TKW. Kebanyakan TKW Indonesia dipekerjakan sebagai PRT. Meskipun disanjung sebagai pahlawan devisa, perlakuan buruk masih tetap menghampiri mereka. Masalahnya, para TKW ini memiliki ketrampilan yang minim sehingga tidak memiliki nilai tawar di mata majikan.

Buruh pabrik, buruh tani, PRT dan TKW bukanlah profesi yang menarik bagi kaum perempuan desa. Profesi itu rentan terhadap perlakuan diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran HAM.

Sayangnya, pendidikan formal yang diharapkan dapat memberi solusi bagi pemecahan masalah ini tidak memberi andil besar. Pendidikan formal belum memberikan hasil nyata mampu meningkatkan martabat pekerjaaan perempuan desa.
Kendala biaya sekolah yang tinggi sehingga tidak dapat dinikmati kaum menengah ke bawah menjadi sebab perempuan tidak bisa menikmati pendidikan formal setinggi mungkin. Maka, yang terjadi adalah perempuan desa menarik diri dari dunia pendidikan dan secepatnya mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Bekal ijazah dan keterampilan yang rendah membuat mereka memilih bekerja pada keempat pekerjaan itu.

Pendidikan Alternatif untuk Perempuan

Oleh karena itu perlu kiranya para perempuan desa ini mendapat akses pendidikan murah dan tidak mendiskriminasikan. Pendidikan alternatif yang memberikan ketrampilan kepada perempuan bisa menjadi solusi.

Menyelenggarakan pendidikan alternatif tidaklah memerlukan standar atau aturan-aturan yang rumit layaknya sekolah formal. Pendidikan alternatif adalah pendidikan yang membutuhkan biaya murah juga kualitas yang baik. Kualitas yang baik tidak harus bergantung dengan sarana-sarana yang mahal misalnya fasilitas multimedia, buku yang berasal dari macam-macam penerbit, tetapi lebih banyak belajar dengan memanfaatkan hal-hal yang ada di lingkungan sekitarnya. Sekolah alternatif untuk perempuan bahkan dapat berjalan ketika kelompok perempuan petani melakukan kegiatan belajar di gubuk-gubuk di sawah atau rumah-rumah mereka.

Yang terpenting dari pendidikan alternatif untuk perempuan adalah menumbuhkan kepercayaan dri kepada perempuan. Karena selama ini perempuan dalam masyarakat sering dikonstruksikan sebagai warga negara nomor dua, yang dalam kehidupannya dianggap tidak penting, bodoh, dan sebagainya sehingga harus dihilangkan dalam proses belajar.

Membekali perempuan kepercayaan diri bisa dilakukan dengan cara memberi bermacam ketrampilan sebagai bekal kreatifitasnya mendirikan usaha kelak. Salah satu contoh kegiatan ini adalah seperti yang dilakukan oleh Taman Kreatifitas Karya Anak Kampung (KAK) yang diselenggarakan di Desa Cabean Karangawen, Kabupaten Demak. Setiap hari Minggu anak-anak perempuan usia Sekolah Dasar (SD) diberi bekal kreatifitas membuat bermacam-macam ketrampilan seperti menggambar, belajar pidato, membaca puisi, membuat boneka, membuat pigura, dan lain sebagainya.

Dalam KAK, tidak ada aturan yang mengikat layaknya sekolah formal yang harus mengenakan seragam atau sepatu. Semua berjalan apa adanya dan gratis. Hal ini untuk menghilangkan hirarki antara posisi pengajar dan peserta didik. Pendidikan alternatif ini dikembangkan atas inisiatif kebutuhan bersama sehingga material dan fasilitator pendidikan alternatif juga dibangun bersama. Dari sini kepercayaan diri anak perempuan akan muncul.

Setelah kepercayaan diri terbentuk, pendidikan alternatif untuk perempuan diharapkan mampu menciptakan ruang imajinasi anak perempuan tentang pekerjaan-pekerjaan lain yang lebih menjanjikan dan tidak memberikan resiko kerja yang tinggi. Mengurangi kemiskinan di kota tidak lain dengan cara menuntaskan kemiskinan di kampung.***
*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris IKIP PGRI Semarang, pengasuh taman kreatifitas KAK (Karya Anak Kampung) Karangawen, Demak.

(Suara Merdeka, rubrik Perempuan 13 Januari 2010)

Tulisan yang lain tentang KAK dapat dibaca di Kampung, Boneka, Durian, Masa Depan, Telur, Kambing

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 143

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.