Pernah tidak kau berseberangan pendapat dengan orang tuamu? Misal, kau ingin kuliah seni rupa namun orang tuamu menginginkan kau menjadi guru bahasa Inggris?
Film “Song of Sparrows” ini menyajikan persoalan yang sama seperti hal di atas. Tidak bertemunya pendapat antar anak-bapak ini menjadi konflik yang ditampilkan secara berkala, memunculkan penasaran apakah sang bapak akan mengikuti keinginan sang anak atau sebaliknya.
Cerita bermula saat Karim (Reza Naji) bekerja di peternakan burung onta. Saat sedang asyik bekerja, seoarang sopir pembawa barang menghampirinya dan menyampaikan berita jika anak sulungnya Haniyyeh kehilangan alat pendengaran saat bermain bersama adik laki-lakinya, Hussein, di sebuah pembuangan air tua. Karim bergegas pulang dan berusaha mencari alat pendengaran Haniyyeh. Sambil mencari, ia memarahi Hussein dan teman-temannya yang bermain di tempat berlumpur dan sarang ular itu. Namun Hussein tetap bergeming, ia menjawab amarah Karim bahwa ia akan membersihkan tempat pembuangan air tersebut dan menyemai benih ikan. Menurut ramalannya ia akan menjadi milyuner jika ia mampu beternak ikan di situ.
Sementara Karim membutuhkan uang lebih untuk membeli alat pendengaran Haniyyeh, ia malah dipecat gegara seekor burung unta piaraannya kabur.
Alat pendengaran Haniyyeh mengantarkan Karim bekerja sebagai kurir dan tukang ojek di kota. Ia bekerja keras memeras keringat demi mendapat uang untuk menghidupi keluarga dan tentu saja biaya untuk membeli alat pendengaran Haniyyeh.
Mengapa film ini diberi judul “Song of Sparrows”? sementara hanya ada dua scene burung gereja ditampilkan sepanjang film (kalau saya tidak salah. Hehe). Adegan pertama adalah saat burung gereja terbang kesana kemari di tempat pembuangan air tua dan yang kedua ketika Karim bangun tidur dan mendapati burung gereja terjebak di rumahnya menabrak kaca berulangkali minta keluar rumah.
Burung gereja seolah mengisyaratkan imajinasi Hussein yang liar untuk menggapai mimpi. Seorang anak kecil bermimpi menjadi milyuner dengan jalan menyemai benih ikan? Hussein berfisik kecil namun memiliki mimpi besar yang dianggap mustahil bagi Karim. Sementara Karim bagai burung unta yang tinggal di kandang dengan pola hidup sederhana, makan dan bertelur, berproduksi untuk sekitar. Pergerakannya hanya seputar kandang saja.
Burung gereja dan burung onta seolah mengisahkan kisah Hussein dan Karim yang berseberangan. Namun Majid Majidi (sutradara) tidak menyajikan film ini dengan menabrakkan langsung antara antagonis-protagonis. Karim salah dan Hussein benar atau sebaliknya. Majid menggambarkan Karim sebagai bapak yang pekerja keras. Ia berikan seluruh tenaganya demi keluarga. Bahkan ia tidak rela melihat anaknya bekerja. Hatinya menangis jika melihat anak kecil bekerja di jalanan. Walaupun ia Ayah yang kolot dan pemarah saat di rumah. Melihat kerja kerasnya, kau akan berpikir ulang membantah ayahmu jika ia menentang apa yang kau ingin dan pikirkan. Bahkan pada antiklimaks film, Karim menghibur Hussein dengan nyanyian saat ia dan teman temannya kehilangan ratusan bibit ikan. …”dunia ini penuh dusta, dunia ini penuh mimpi…” tidak usahlah terlalu sedih hidup di dunia ini jika kau temui kesulitan. Begitu kira kira pesan Karim lewat lagunya.
Jika kau sedang jengkel dengan orang tuamu dan menonton film ini kau akan diingatkan jika merekalah yang memastikan perutmu kenyang saat beranjak tidur. Dan jika kau orang tua yang sedang menertawakan mimpi anakmu kau akan diingatkan kau tidak bisa menghalangi perjuangan gigihnya. Kau akan terkaget jika Suatu saat mimpi anakmu menjadi kenyataan.*** (Tri Umi Sumartyarini)