Kita yang Mengaku Umat Muhammad

Satu kelompok Islam menganggap dirinya paling Islam sehingga ia merasa berhak mengkafirkan kelompok yang lain. Ia menganggap prilaku ber Islam kelompok yang lain itu telah tercampuri oleh budaya masyarakat setempat. Kelompok ini telah mengutuk-ngutuk saudaranya di media sosial, di forum-forum yang mereka selenggarakan. Meskipun dengan diawali terikan “Allahuakbar” tetapi wajah menampakkan kemarahan, kebencian. Seakan-akan saudaranya itu harus segera enyah dari bumi ini. Kedatangan saudaranya itu di dunia ini telah menjadikan Islam tidak lagi murni. Ber-Islam dan bernegara menurut mereka harus menjadi satu.

Sementara di lain pihak, kelompok yang dituduh mencampuradukkan antara Islam dengan budaya itu juga punya pandangan lain. Mereka punya tafsir lain terhadap Islam dan negaranya. Berislam menurut mereka tidak harus berarab. Ber-Islam menurut mereka tetap boleh mencintai dan menjunjung tinggi negara tempat mereka saat ini hidup.

Hal inilah yang menjadi titik congrah antara keduanya hingga sampai ke titik-titik paling ekstrim seperti pengusiran, penolakan, bahkan menurunkan dari panggung saat salah satu ulama mereka berpidato oleh kedua kelompok secara bergantian.

Demi siapakah pengusiran itu dilakukan? Mencontoh siapakah teriakan, umpatan-umpatan itu dilakukan? Jika mengaku Islam maka dasarnya adalah Alquran, dilakukan Lillahitaala dan meneladani Rasulullah.

Benarkah kita telah meneladani Muhammad? Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri kita sendiri. Karena jangan-jangan yang menjadi panutan kita adalah nafsu, pelampiasan terhadap keinginan kita sendiri. Kemenangan yang kita perjuangkan adalah kemenangan diri dan kelompok kita sendiri.

Sunah rosul itu tidak hanya perkataan tetapi juga perbuatan dan ketentuan Rosul. Dalam berjuang baik dalam periode Makah maupun Madinah, Muhammad, Rasulullah telah mendapatkan banyak tantangan dan cobaan. Di tengah berbagai cobaan dalam mengemban tugas perjuangan itu beliau tetap memelihara perkataan dan perbuatan. Tidak pernah sedikitpun beliau kehilangan daya kontrol dengan melakukan perbuatan keji. Beliau terus melakukan dengan kesabaran. Mengapa beliau demikian sabar menghadapi orang-orang yang membencinya, yang ingin membunuhnya, yang memfitnahnya? Menurut saya karena Muhammad adalah manusia cinta, ia mencintai umatnya, setiap manusia memiliki kesempatan untuk mendapatkan cahaya hidayah. Mencintai mereka, menghadapinya dengan kesabaran itu akan membuka peluang cahaya hidayah tetap terpancar. Jika hari ini belum mau ikut mungkin besok, jika besok belum mungkin lusa, jikapun sampai mati belum juga maka mungkin anak turunnya.

Perjuangan kita hari ini tentu tidak sebanding dengan perjuangan Rosulullah, kita perlu meneladani sikap, perkataan, dan perbuatan beliau. Tetap menjaga prinsip tetapi tetap santun, sopan, dan mengontrol diri. Jika misalnya ada yang kita anggap berbeda dalam memandang bagaimana seharusnya berjuang dalam Islam maka seharusnya bukan kita posisikan sebagai musuh. Mereka adalah saudara-saudara yang sama-sama ingin ber Islam. Kita dan mereka sama-sama masih dalam perjalanan menuju dan kita semuanya berkesempatan untuk dekat dengan Allah asalkan kita Taqwa. (Muhajir Arrosyid).

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 143

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.