Apakah cerpen itu? jika orang kemudian membaca cerpen berjudul “Haedes” karya Rosyid H. Dimas (Koran Tempo, 08/08/2020) maka jawabannya adalah: cerpen adalah tragedi. Banyak cerita-cerita tragedi yang telah ditulis, dan banyak pula yang mengabadi. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah percintaan Romeo dan Yuliet. Akhir kisah Romeo-Yuliet adalah semua mati. Memilukan memang, tetapi adil. Kisah serupa berlatar Jawa adalah Roro Mendut-Pranacitra. Pranacitra mati diujung keris Wiraguna, dan Mendut menikam perutnya sendiri demi kekasihnya itu. Tragis memang, tetapi tidak setragis cerita Haedes dan Anhelina.
Cerita Haedes diawalii dengan penyelesaian secara jantan antara Haedes dengan Valiant untuk merebutkan Anhelina. Dari adu duel pistul itu, Valiant yang anak baron itu terkapar. Akhirnya Anhelina menyuruh Haedes untuk lari dan ia akan menunggunya. Sepuluh tahun Haedes pergi, saat kembali ternyata Anhelina karena terdesak dengan keadaan telah menikah dan memiliki seorang anak. Puncaknya adalah ketika Haedes menuntut balas atas pengorbanannya selama sepuluh tahun menunggu. Haedes ingin ada yang mati, entah itu suami Anhelina, atau anaknya. Akhirnya Anhelina menyerahkan dirinya sendiri untuk ditembak oleh Haedes. Anhelina merasa dialah yang berkhianat maka dirinyalah yang paling bertanggungjawab. Di gereja itu Haedes menembak dirinya sendiri.
Tragis, karena duka itu ditebus oleh nyawa Haedes sendiri tidak ada Anhelina yang menemani. Anhelina memang mengucapkan cinta di pemakaman Haedes tapi cinta itu tidak ia tebus dengan nyawa sebagaimana Yuliet dan Roro Mendut. Mengapa kisah Haedes saya anggap lebih tragis? Jika Romeo-Juliet dan Roro Mendut Pranacita sama-sama mati kita berpikir mereka bertemu di alam kematian. Sedangkan Haedes tidak begitu, ia hidup sendiri saat mati sendiri pula. Apakah yang lebih tragis dari kesepian?
