Apakah arti alam bagi manusia? Pertanyaan itu juga bisa kita balik, apakah arti manusia bagi alam? Pertanyaan ini menarik untuk dipikir karena terjadinya perusakan besar-besaran terhadap alam yang dilakukan oleh manusia.
Mungkin manusia menganggap alam itu tempat, semacam rumah, bumi tempat berpijak. Namun mengapa manusia merusak rumahnya sendiri dan mengotori rumahnya sendiri. Mungkin manusia menganggap alam adalah benda yang perlu dikeruk demi kepuasan, kenikmatan, dan kenyamanan hidup manusia. Atau alam adalah benda, manusia memiliki daya kreatifitas sehingga alam diolah, dibentuk.
Bagi alam manusia adalah bagian dari alam tersebut. Karena manusia hidup hanya sebentar. Belum ada manusia yang umurnya melebihi umur alam. Saat mati, manusia yang terdiri atas unsur air, angin, dan api itu akan kembali menjadi air, tanah, dan unsur-unsur alam yang lain. Satu hal yang membuat daya rusak manusia berlanjut meskipun sang manusia telah mati adalah manusia punya ingatan dan mampu mencatat ingatannya, menurunkan pengetahuannya tersebut. Lalu pantas disebut apakah manusia itu? Ia bagian dari alam tetapi merusak alam itu sendiri. Menempel pada alam tetapi menyakiti alam.
Bagaimanakah cara sastrawan kita menceritakan perbuatan manusia perusak alam itu? Mari kita baca cerita pendek berjudul “Tambang Nanah” karya Hary B. Kori’un (Koran Tempo, 18/02/2017). Ia bercerita tentang kepedihan masyarakat karena eksploitasi minyak bumi melalui tukang koba atau tukang dongeng. Seorang tukang dongeng bercerita di depan anak-anak tentang pengeboran minyak yang keluar bukan miyak tetapi nanah yang berbau busuk.
Mahdi yang baru berumur lima tahun anak dari Mahruz tinggal di sebuah perkampungan kebun karet. Mulanya di kampung itu mereka hidup biasa saja. Mereka hidup dari kebun karet dan sayur-mayur. Hingga datanglah seorang ahli geologi, ahli minyak ke kampung mereka. Beberapa hari berikutnya datang ke kampung itu serombongan pemerintah diwakili Pak Camat dan dikawal oleh tentara menjelaskan bahwa di ceruk sungai itu terdapat ladang minyak yang diperlukan oleh orang banyak. Kata Pak Camat, “Sebagai warga negara yang taat kepada pemerintah, maka kita harus maklum…..’
Alasan yang digunakan untuk memindahkan warga adalah untuk kesejahteraan masyarakat banyak, dan pemindahan itu untuk kepentingan bersama. Meskipun pada kenyataannya yang mendapat untung besar adalah hanya segelintir orang saja.
Konflik mulai berjalan meruncing. Setelah warga secara terpaksa pindah ke tempat yang dipilihkan tanpa banyak pilihan karena mereka kalah kekuatan. Pada awal-awal mereka hidup sejahtera dari uang ganti rugi itu, tetapi ketika uang habis mereka bingung, tidak ada karet yang bisa mereka panen berkala. Puncaknya adalah ketika Ibu Mahdi pergi dan tidak pulang lagi. Mahruz, ayah Mahdi linglung karena hal itu. Ibu Mahdi tidak kuat hidup miskin dan menyebrang ikut hidup dengan orang tambang.
Mahdi marah karena itu, ia menyebrang ke area tambang mencari ibunya tetapi tidak ada yang mengubris anak kecil itu. Sampai kemudian anak itu marah dan menyumpahi jika kelak kilang minyak itu tidak akan mengeluarkan minyak tetapi akan mengeluarkan nanah. Mahdi pergi entah ke mana. Mengembara ke sudut-sudut gelap dunia. Diceritakan oleh tukang koba bahwa pada akhirnya sumur-sumur minyak itu mengeluarkan nanah yang baunya bacin hingga membuat orang-orang di situ muntah.
Beda lagi dengan cerita yang ditulis oleh Gus Tf Sakai (Koran Tempo, 04/06/2020) yang berjudul “Ketam Batu”. Cerpen ini bercerita tentang eksploitasi batu bara besar-besaran. Cerpen berkait kelindan dengan cerita rakyat yang diyakini menjadi asal-usul kampung. “Dulu, dulu sekali, menurut cerita orang-orang tua, ketam pertama yang datang ke kampung Fahmi adalah ketam batu dan, saat itu, tubuh si ketam sangatlah besar. Saking besarnya, orang-orang tua bilang, “Bila kaki-kaki kanannya ada di puncak Bukit Suok, kaki-kaki kirinya akan ada di puncak Bukit Kido.” Bukit Suok dan Bukit Kido adalah dua bukit kembar yang terletak di mulut kampung yang jarak kedua puncaknya delapan kilometer.”
Ketam atau kepiting di kampung itu yang ukurannya sangat besar harus ditaklukkan oleh pembuka kampung. Caranya adalah dengan memindahkan aliran sungai. “…..Pengulu Gedong menaklukkan si ketam dengan memindahkan alur Sungai Rambai, menerbangkan batu-batu dari bukit-bukit sekitar, menghujani si ketam dengan batu-batu itu, sehingga si ketam tertimbun terkubur di sana.”
Cerita selanjutnya adalah si Fahmi yang merantau dan sesekali pulang ke kampungnya yang orang-orangnya adalah petani karet. Setiap Fahmi pulang perubahan sedikit demi sedikit terjadi hingga perubahan total terjadi karena kampungnya tidak lagi terlihat pohon karet seperti semula. Kampungnya berubah menjadi lubang-lubang galian. “……..tapi juga karena kebun-kebun karet, entah bagaimana awalnya, telah beralih pemilik ke orang-orang asing dan, orang-orang asing itu, juga entah bagaimana awalnya, menebang merebahkan pohon-pohon karet lalu menggali mengeruk tanah, menambang batu bara. ”
Karena alasan perluasan daerah eksploitasi batu bara pula aliran sungai dipindah. Kita diajak kembali kecerita awal, tempat yang dulu untuk menimbun ketam raksasa dibongkar karena akan digunakan sebagai aliran sungai yang baru. Akibatnya apa? Ketam raksasa itu muncul lagi.
Dua cerpen yang saya bahas di atas semuanya berakhir dengan bencana. Seorang lemah yang dicidrai dan berakibat pada alam yang membalas. Cerita semacam ini mengingatkan kita pada cerita-cerita legenda. Misalnya, cerita Rawa Pening, seorang anak buruk rupa yang disepelekan oleh kerumunan yang kemudian karena lidinya yang mengeluarkan air menjadi banjir bandang.
Cerita-cerita pada zaman dulu seringkali terkait dengan keadaan sosial dan alam pada masanya. Dongeng atau cerita adalah salah satu cara pendongeng mendokumentasikan peristiwa. Cerpen yang dibahas di atas kelak juga akan menjadi catatan bagi anak cucu kita. Syukur-syukur menjadi pelajaran sehingga sebab kerusakan alam itu tidak diulangi lagi.
Matur suwun Mas, sudah membahas cerpen saya… Salam kenal, saya lahir di Pati yang besar di Sumatra…
Salam kenal Mas, saya tinggal di Demak.