Ia tidak kuat berjalan menuju mobil saat akan di bawa ke rumah sakit. Sudah tiga hari ini dia mengeluh tidak enak badan. Tetapi dia selalu mengelak kalau mau diperiksakan ke dokter. Namun pagi ini dia tidak bisa menolak, pagi tadi saat salat subuh dia mutah darah. Ia harus pasrah. Aku menggendongnya menuju mobil. Punggungku merasakan dadanya yang bergerak mau mutah. Di perjalanan menuju rumah sakit dia masih bisa berbicara lemah, “Nanti kalau rawat inap bagaimana?”
“Ya kalau memang harus dirawat inap ya kita ikut saran dokter toh Pak. Di rumah aku tidak bisa merawat Bapak. Aku tidak punya ilmunya.” Bapak rupanya menyembunyikan sakit dari anak-anaknya. Ia menahan sakit itu sudah dua minggu ini. Alasan Bapak tidak mau ke rumah sakit karena ia takut dicovidkan. Hari-hari ini beredar isu ada pasien dicovidkan. Maksudnya adalah orang yang datang periksa di rumah sakit karena sakit perut tetapi kemudian didata sebagai pasien covid. Entah isu itu benar atau tidak dan dari mana isu itu beradar. Yang jelas, berdasarkan isu itu orang-orang menjadi enggan ke rumah sakit. Bahkan ada yang mati bukan karena covid tetapi karena dia tidak mendapatkan pengobatan yang berarti atas sakit asalnya karena takut ke rumah sakit.
Mendapati kenyataan yang demikian, kami sekeluarga sempat panik dan khawatir. Adik ku yang nomor tiga menangis melihat darah Bapak yang tercecer di sajadah. Bayangan kami sudah kemana-mana. Setelah Bapak melalui proses pemeriksaan dan mendapatkan kamar untuk rawat inap kami mulai menata diri, membagi tugas, siapa yang jaga di rumah sakit, siapa yang memasak, dan tugas-tugas yang lain.
Bapak pasrah karena hanya itu yang bisa dia lakukan. Ia terbaring di ruang rumah sakit. Hari ini gilirian aku yang menjaganya karena kebetulan kantorku sedang libur. Adik-adikku sudah pulang ke rumah. Di atas bantal putih ia berbujur. Satu kakinya dia angkat. Matanya menatap langit-langit eternit. Hp nya tergeletak di sampingnya. Dokter menyuruhku mencari darah untuk Bapak. Aku harus segera bicarakan dengan adik-adikku karena darah harus diambil di kantor PMI kabupaten sebelah.
Bapak melambaikan tangan, ia menyuruhku untuk mendekat. Setelah aku duduk di sampingnya ia mengatakan sesuatu. “Bapak sudah punya jadwal menyanggupi jadi pranatacara di tiga tempat. Di kalender rumah sudah aku lingkari tanggalnya dan ada nomor hpnya. Tolong hubungi untuk dibatalkan. Kedua, Bapak terjadwal ngimami salat magrib di masjid, tolong bilang kepada takmir untuk dicarikan ganti. Ketiga, anak-anak yang mengaji habis magrib tolong diliburkan dulu atau kalau ada yang mau mengajari ya monggo situ. Terakhir, minta tolong salah satu adikmu ada yang membersihkan daun-daun pohon ketepang yang berserakan di halaman masjid.”
“Inggeh Pak.” Bapak kembali tidur dan memejamkan mata. Perawat datang mengantar makanan, memeriksa infus, dan kemudian pamit pergi lagi. Menunggui di rumah sakit memang membosankan apalagi sendiri. Namun ini harus aku lakukan sebagai baktiku kepada orangtua, kapan lagi aku membalas jasa-jasanya. Dia dulu yang merawatku dan adik-adikku. Dia rela menahan kesenangannya demi sekolahku. Untung ada Hp, ia menyelamatkanku dari kesepian. Aku berpindah dari instagram melihat-lihat gambar baju, ke youtube, facebook, terus berulang-ulang, sampai waktu berlalu tidak terasa.
Tugas dari Bapak sudah aku laksanakan. Aku perintahkan adikku yang kedua untuk membatalkan pekerjaan Bapak sebagai pranatacara, aku perintahkan adikku yang ketiga untuk ke takmir masjid sekaligus menggantikan Bapak mengajari mengaji anak-anak kampung setelah salat magrib, dan aku menyuruh Azdar, adikku yang terakhir untuk memastikan halaman masjid bersih dari sampah daun ketapang. Tentang tugas yang terakhir ini, kami punya cerita panjang. Ada peristiwa yang berkesan sehingga Bapak gigih memastikan halaman masjid bersih. Meskipun Bapak tugas luar kota dan harus meninggalkan rumah beberapa hari, ia akan mencari orang bahkan membayar orang agar membersihkan halaman masjid itu.
Kita harus mundur terlalu jauh untuk mendapatkan cerita yang utuh perihal daun-daun pohon ketapang di halaman masjid. Dulu kampung ini adalah sebuah kebun yang dimiliki oleh empat orang. Mulanya yang tinggal di sini adalah pohon-pohon, pohon mindik, pohon sawo, bambu, jambu, pisang. Selain kebun juga rawa-rawa yang ditinggali belut, ikan kutuk, betik, sepat, yuyu. Bapak dan beberapa penduduk lain adalah penghuni awal kampung ini. Dari empat pemilik tanah dibagi-bagi ke anak-anaknya sehingga kampung ini sekarang padat. Seratus meter dari kampung ini sudah didirikan pom bensin dan mini market. Dua ratus meter dari kampung ini telah berdiri sebuah pabrik. Maka berdiri pula rumah sewa dan rumah kos.
Sedangkan yang sekarang berdiri masjid dulunya adalah kebun yang menghutan dan diapit rawa. Saat masjid itu dibangun pohon-pohon itu dibersihkan dan rawa ditimbun tanah. Saat pertama kali masjid itu dibangun kira-kira dua puluh tahun yang lalu Masjid itu masih menyisakan empat pohon di halamannya. Namun lima tahun belakangan ketika jamaah jumat semakin banyak sisa pohon itu ditebang. Halaman yang tadinya berdiri pohon sekarang berdiri peneduh kanopi yang terbuat dari baja ringan. Tersisa satu pohon yang berdiri.
“Saya mohon satu pohon ketapang itu jangan ditebang. Tidak ada ruginya menyisakan sedikit ruang untuk pohon itu.” Bapak mempertahankan satu pohon dalam rapat takmir. Pohon yang tinggal satu itu berada di pinggir halaman masjid dan bersisihan dengan jalan.
“Apa tidak lebih baik sekalian ditebang saja Pak Samsul?” tampik Pak Sunar. Pak Sunar memang dari dulu selalu berbeda pendapat dengan Bapak. Apa saja pendapat Bapak dia tentang. Entah apa alasannya. Mungkin karena ia iri, Bapak lebih banyak diterima oleh masyarakat. Ia lebih sering dimintai tolong memimpin tahlil saat ada warga menyelenggarakan selematan.
“Buat iyup-iyup toh Pak.” Iyup-iyup maksudnya adalah buat berlindung dari panas dan hujan.
“Tidak masuk akal. Bukankah iyup-iyup sudah menggunakan kanopi baja ringan? Usul saya tebang saja. Selain daunnya mengotori halaman masjid. Akarnya merusak plesteran halaman masjid. Pada zaman sekarang ini harus berpikir praktis. Tetap membiarkan pohon itu hidup sama saja menghabiskan banyak tenaga dan biaya. Meskipun hanya satu pohon tetapi daunnya banyak. Lihat saja, setiap pagi dan sore daun memenuhi halaman masjid. Kotornya luar biasa.”
Rapat takmir menentukan ditebang tidaknya pohon itu diselenggarakan di serambi masjid pada malam sehabis isyak. Rapat takmir yang dihadiri oleh tidak lebih lima belas orang itu tampak tegang. Teh hangat menjadi dingin sendiri tanpa disentuh. Pak Sunar melanjutkan pendapatnya.
“Kanjeng Nabi dalam hadisnya berkata, kebersihan adalah bagian dari pada iman.”
“Memang, bahkan pernah pada suatu ketika Rosulullah lewat Ahlusufah, beliau melihat ada sampah berserekan. Beliau memegang sapu dan menyapu sendiri. Kemudian Abu Dzar melihat, dia menangis dan meminta sapu itu dan melanjutkan menyapu.” Kata Pak Sabkhan, sekretaris takmir.
“Itu lah Pak, kebersihan itu penting.” Sambung Pak Sunar.
“Tapi Nabi tidak kemudian menebang pohon itu. Nabi hanya membersihkan daun yang berserak dan tidak menebang pohon tersebut. Kita juga harus tahu bahwa Nabi juga mencintai pohon. Ketika Nabi baru hijrah ke Madinah, Nabi menyeru kepada para sahabat untuk menanam pohon. Bahkan beliau pernah berkata bahwa siapa yang menanam kurma di dunia maka ia akan memperoleh taman di surga. Suatu ketika ada sahabat yang menanam kurma, dan beliau berkata: tangan itu sungguh berberkah. Jadi menanam dan merawat pohon merupakan sunah juga.” Jawab Bapak.
“Aku yang bertanggungjawab atas daun-daun pohon ketapang itu. Aku yang akan memastikan kebersihan halaman masjid.”
Sejak saat itu Bapak selalu membersihkan halaman masjid. Jika beliau sedang sakit atau ada halangan lain kami lah anak-anaknya yang disuruh menggantikannya.
***
Sudah dua minggu Bapak berpindah tidur di rumah sakit. Apa yang ditakutkan Bapak tidak terbukti. Ia dinyatakan negatif korona. Dokter memvonis infeksi liver. Musim hujan kali ini lebih terasa. Hujan turun sepanjang hari tidak berhenti. Kabar banjir datang dari mana-mana. Karena hujan yang tidak kunjung berhenti itu adikku jadi telat mengambil daun-daun berserak di halaman masjid. Baru tahun ini setiap hujan datang lebat tidak berhenti selama dua jam saja jalan kampung kami tergenang air setinggi tiga puluh senti meter. Beberapa rumah yang berlantai rendah juga terdampak-rumahnya terkena banjir. Namun, tiga puluh menit dari hujan berhenti air sudah hilang. Itu artinya got tidak mampu menampung deras air. Lagi-lagi yang disalahkan adalah daun-daun pohon ketapang.
“Sudah dibilang dari kemarin, saya bilang apa tebang saja pohon itu. Tidak ada manfaatnya. Tidak berbuah dan daun dan akarnya menimbulkan masalah. Sekarang got-got itu mampat pasti yang karena tersumpal daun-daunnya.” Kata Pak Sunar.
Padahal menurut kami got memang terlalu kecil jadi tidak mampu menampung air hujan. Area resapan sudah berkurang karena kobun telah dibangun rumah-rumah beton. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan pohon ketapang tetapi dibangunnya rumah-rumah besar dan tidak memikirkan kemana air akan dialirkan.
Azdar, adikku yang keempat yang mendapat tugas membersihkan daun-daun ketapang di halaman masjid mendengar bahwa pohon itu akan ditebang. Ia segera mengambil kapak dan pergi ke masjid. Ia memunguti daun-daun ketapang. Kapaknya ia letakkan di bawah pohon.
Orang-orang datang membawa kapaknya masing-masing. Mereka hendak merobohkan pohon. Mereka tidak bergerak menyaksikan Azdar yang memunguti daun-daun. Azdar memegang kapaknya. Ia berdiri dan berkata kepada orang-orang. “Silakan yang mau menebang pohon ketapang ini, hadapi dulu kapakku. Sini, ayo sini Pak Sunar atau siapa saja.”
Orang-orang berangsur pergi pulang ke rumah masing-masing. Bagi Azdar dan juga kami anak-anak Bapak, melindungi pohon itu adalah menjaga hati Bapak, hati yang sekarang sedang infeksi dan membuat tubuhnya lunglai tidak berdaya selama dua minggu ini.
Muhajir Arrosyid – penulis buku cerpen Menggambar Bulan Dalam Gendongan