Tidak seperti biasanya, aku tidur pukul 20. Memang suasana mendukung, di kampung ini, pukul 20 sudah tidak berdenyut. Orang-orang sudah menutup pintu dan membujurkan tubuh di tempat tidur. Kadang masih ditemani TV. Kipas angin berputar mengeringkan keringat di dahi. Ya malam itu gerah. Baru menjelang pagi suhu udara berbalik dingin. Selimut melaksanakan tugasnya.
Pada menjelang subuh itu lah aku bangun. Aku salat empat rakaat dan bercerita kepada Allah. Aku merenungi dua cerita. Seorang kaya yang rela melepas kekayaannya dan hidup sebagai orang tidak punya, mengapa?
Allah telah memberi rezeki cukup untuk hidup, keinginan-keinginan, bayangan-bayangan masa depan menjadi beban. Untuk sekadar hidup orang cukup, tetapi untuk memenuhi keinginan berapa pun tidak cukup karena keinginan itu bertumbuh. Setelah ini ingin ini dan selanjutnya.
Satu renungan lagi aku baca dari status WA teman; apa yang telah ditakdirkan untukmu meskipun itu di bawah dua gunung akan menjadi milikmu. Namun meskipun itu berada di antara dua bibirmu jika itu ditakdirkan bukan menjadi milikmu maka ia akan lepas juga. Merenungi ini maka kepasrahan tumbuh. Usaha adalah jalan bagi datangnya rezeki tetapi ada takdir yang menentukan.
Subuh tiba, Kang Zam adzan dengan nada mendayu. Pada udara yang dingin itu hanya sof pertama yang terisi. Pak Sor mengimami jamaah subuh itu. Pulang dari salat aku kembali ke ranjang menulis catatan ini. Di sela menulis aku sempat ke kamar mandi, dari celah kamar mandi aku lihat Mbak Tun menyiapkan dagangannya. Ia hendak pergi ke pasar menjual kerupuk. Mbak Tun kali ini jualan sendiri, satu bulan lalu Kang Di suaminya meninggal dunia. Dari masjid suara orang mengaji disela teriakan burung-burung.